Sahabat Bilal bin Rabbah, Muadzin Pertama di Dunia
Bilal bin Rabah – Bilal bin Rabah (Arab: بلال بن رباح )
Nama lain: Bilal al-Habsyi, Bilal bin Riyah, Ibnu Rabah, hidup sekitar 580 – 640
Masehi.
Bilal
lahir di daerah as-sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabbah,
yang seorang budak. Sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita
berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena kondisi ibunya itu, sebagian orang
memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-sauda (putra wanita hitam).
Bilal
adalah seorang budak berkulit hitam dari Habsyah (sekarang Ethiopia). Beliau dibesarkan
di kota Ummul Qura (Mekah), sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar.
Saat
ayahnya meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh
penting kaum Quraisy.
Kondisi Bilal bin Rabbah, saat cahaya Islam datang
Ketika
Mekah dihebohkan dengan kemunculan seseorang yang menjadi Rasul Saw, yang
menyerukan kalimat Tauhid, Bilal adalah kelompok orang yang pertama memeluk Islam,
walau statusnya masih menjadi seorang budak.
Saat
Bilal masuk Islam, hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk
agama baru itu. Seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar
ash-shiddiq, Ali bin Abu Thalib, Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah,
Shuhaib ar-rumi, dan Al-miqdad bin al-aswad.
Setelah
majikannya mengetahui jika Bilal masuk Islam, maka beliau disiksa terus menerus
oleh majikannya setiap hari, agar keluar dari Islam.
Bahkan,
beliau merasakan penganiayaan dari orang-orang Quraisy. Mekkah, yang lebih
berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera
tubuhnya. Namun beliau, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap
sabar menghadapi ujian itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan
oleh siapa pun.
Berbeda
dari Mukminin seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib yang masih memiliki
keluarga dan suku yang membela mereka, mustadh ‘afun (orang-orang yang
tertindas) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun.
Sehingga,
orang-orang Quraisy menyiksa mereka tanpa rasa belas kasihan. Para Quraisy
ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran, bagi
setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.
Penyiksaan kaum Quraisy terhadap Bilal bin Rabbah
Kaum
yang tertindas itu (mustadh ‘afun) disiksa oleh orang-orang kafir
Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang.
Seperti,
Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Dia sempat
menghina dan mencaci maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah
hingga menembus punggung lemah itu. Dan akhirnya, gugurlah syuhada pertama
dalam sejarah Islam.
Sementara
itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus
disiksa oleh Quraisy tanpa henti.
Apabila
matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekkah berubah menjadi ‘perapian
raksasa’ yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian
orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka,
dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin
terik.
Tidak
cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu juga mencambuk tubuh mereka, sambil
memaksa mereka mencaci maki Muhammad.
Adakalanya,
saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh para mustadh ‘afun
itu sampai batas untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy
yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah
dan Rasul-Nya.
Namun,
Sahabat Bilal, semoga Allah meridhainya… berbeda.
Baginya,
penderitaan itu masih terasa terlalu ringan, jika dibandingkan dengan
kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.
Orang
Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf (tuannya),
bersama para algojo. Mereka menghantam punggung Bilal dengan cambuk, namun
Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad (Allah Maha Esa).”
Mereka
menindih dada Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad,
Ahad.”
Mereka
semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad.”
Mereka
memaksa Bilal agar memuji Latta dan Uzza, tapi Bilal justru memuji dan
mengagungkan Allah dan Rasul-Nya.
Mereka
terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”
Bilal
menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.”
Jawaban
ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.
Apabila
merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher
beliau dengan tali yang kasar, lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak beradab
dan anak-anak agar menariknya di jalanan. Mereka menyeretnya di sepanjang Abthah
Mekkah (Pelataran Ka’bah).
Sementara
itu, Bilal terus menikmati siksaan yang diterimanya, karena membela ajaran
Allah dan Rasul-Nya. Beliau terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad,
Ahad, Ahad, Ahad.”
Beliau
terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.
Merdekanya Bilal bin Rabbah
Kisah
ini sangat terkenal dalam literasi Islam, di mana Bilal dibawa ke tengah lapang
gurun pasir, kemudian ditidurkan dan ditindih dengan batu besar yang harus
diangkat dua orang kekar.
Namun,
Bilal tetap berpegang teguh kepada Islam, dan tidak mau kembali kepada
kekafiran dan tetap melantunkan “Ahadun Ahad, Ahadun Ahad…”,
meskipun terus menerus disiksa oleh majikannya.
Lalu,
Abu Bakar rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin
Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Dia
mengira, Abu Bakar tidak akan mau membayarnya.
Tapi
ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas/
900 dinar. Setelah transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya,
kalau engkau menawar satu uqiyah pun, maka aku tidak akan ragu untuk
menjualnya.”
Abu
Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun,
maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.”
Ketika
Abu Bakar memberitahu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, bahwa beliau
telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya,
Rasulullah Saw. berkata kepada Abu Bakar,
“Kalau
begitu, biarkan aku bermitra denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.”
Abu
Bakar Ash-Shiddiq menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”
Namun,
kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Karena, kaum Quraisy mulai menyerang secara
radikal, setelah berakhirnya perjanjian Hudaibiyyah, dan meninggalnya kedua
pelindung Rasulullah Saw. Yaitu Paman beliau, Abu Thalib dan Istri tercinta,
Siti Khadijah Al-kubro.
Hingga,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan sahabat-sahabatnya
untuk hijrah ke Madinah, untuk menghindari serangan-serangan kaum Quraisy.
Mereka
segera berhijrah dengan bergelombang-gelombang, termasuk Bilal.
Kehidupan Bilal bin Rabbah di kota Madinah
Setibanya
di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan Amir bin Fihr.
Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal
melantunkan gurindam/syair kerinduan dengan suaranya yang jernih.
“Duhai
malangnya diriku, akankah suatu malam nanti, aku bermalam di Fakh (daerah)
dikelilingi pohon idzkhir dan jalil. Akankah suatu hari nanti aku minum air
Mijannah, Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil?”
Tidak
perlu heran, mengapa Bilal begitu merindukan Mekkah dan perkampungannya,
merindukan lembah dan pegunungannya.
Karena
di sanalah, beliau merasakan nikmatnya iman. Di sanalah, beliau menikmati
segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Di sanalah, beliau berhasil
melawan nafsu dan godaan setan.
Bilal
tinggal di Madinah dengan tenang dan aman, jauh dari jangkauan orang-orang
Quraisy yang kerap menyiksanya.
Kini,
beliau mencurahkan perhatian dan pengabdiannya untuk menyertai kekasihnya,
Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Bilal
selalu mengikuti Rasulullah Saw. ke mana pun beliau pergi. Selalu bersamanya
saat shalat, maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan
Rasulullah ibarat bayangan, yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.
Kisah ditunjuknya Bilal bin Rabbah menjadi Muadzin di Masjid Nabawi
Ketika
Rasulullah selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan adanya seruan
adzan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan adzan (mu’azin)
dalam sejarah Islam.
Merujuk
buku Ash-Shuffah (Yakhsyallah Mansur, 2015), setidaknya ada empat alasan mengapa
Bilal diangkat menjadi penyeru adzan untuk umat Islam, untuk yang pertama
kalinya.
Pertama,
Bilal memiliki suara yang lantang dan merdu. Mungkin ini menjadi faktor pertama,
mengapa Rasulullah memberikan tugas kepada Bilal untuk menjadi muadzin pertama dalam
Islam.
Dikisahkan,
jika siapapun akan bergetar hatinya, manakala mendengar Bilal bin Rabbah
mengumandangkan adzan atau membaca Al-Qur’an.
Kedua,
Bilal sangat menghayati kalimat-kalimat adzan.
Ketika
Bilal masih menjadi budak Umayyah bin Khalaf, dia disika dengan siksaan yang
sangat keras agar keluar dari Islam. Namun, beliau bergeming dan terus
mengucapkan ahad, ahad, ahad.
Pengangkatan
Bilal sebagai muadzin pertama, juga merupakan penghargaan kepadanya. Mengapa?
Karena
apa yang diucapkan Bilal ketika disiksa (ahad, ahad, ahad), memiliki unsur
persamaan dengan kalimat-kalimat adzan, yaitu mentauhidkan atau meng-esa-kan
Allah Swt.
Ketiga,
Bilal memiliki kesiplinan yang tinggi, saat mengumandangkan Adzan, lima kali
dalam sehari semalam.
Karena
waktu shalat fardhu yang ditetapkan, diperlukan orang yang memiliki
kedisiplinan yang tinggi untuk mengemban tugas sebagai muadzin. Dan Bilal bin
Rabah adalah orang yang memiliki kedisplinan yang tinggi itu.
Keempat,
Bilal memiliki keberanian. Untuk mengumandangkan adzan pada masa-masa awal
dakwah Islam, diperlukan keberanian yang tinggi. Terlebih lagi, umat Islam di
Madinah saat itu belum menjadi mayoritas. Sehingga, ada banyak ancaman yang
akan datang, dari para pembenci dakwah Islam.
Maklum
saja, prinsip tauhid yang ada dalam kalimat adzan tentu saja bertentangan
dengan kondisi masyarakat pada saat itu, di mana kemusyrikan dan penolakan
terhadap Islam masih kencang.
Biasanya,
setelah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam seraya berseru, “Hayya alashsholaati hayya alashsholaati”
(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan.) Lalu, ketika Rasulullah keluar
dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.
Jika kamu ingin mengetahui amalan-amalan yang membuat sahabat Bilal menjadi istimewa, tentang Amalan-amalan Bilal bin Rabbah yang dirindukan surga, silahkan lihat di sini.
Kisah Sahabat Bilal bin Rabbah saat perang melawan kaum Quraisy
Suatu
ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk
barang-barang paling istimewa miliknya, kepada Rasulullah Saw.
Kemudian,
Rasulullah mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin
Abu Thalib dan Umar ibnul Khattab. Tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan
tombak itu kepada Bilal.
Sejak
saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke
mana-mana. Beliau juga membawanya dalam dua shalat id (Idul Fitri dan Idul
Adha) dan shalat istisqa (mohon turun hujan), dan menancapkan tombak itu di
hadapan beliau, saat melakukan shalat di luar masjid.
Bilal
bin Rabbah juga menyertai Nabi Shalallahu alaihi wasallam dalam Perang Badar. Beliau
menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana Allah memenuhi janji-Nya
dan menolong 313 Mukminin dengan tentara-Nya.
Juga,
beliau melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya.
Beliau melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur di tanah, ditembus
pedang kaum muslimin. Dan, darahnya mengalir deras, karena tusukan tombak
orang-orang yang mereka siksa di masa lalu.
Kisah Bilal bin Rabbah saat Fathul Makkah
Ketika
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan kota Mekkah, dalam Fathul
Makkah, Beliau berjalan di depan ‘pasukan hijau’-nya bersama ‘sang
pengumandang panggilan langit’, Bilal bin Rabah.
Saat
masuk ke Ka’bah, Rasulullah Saw. hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman
bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai
kekasih Rasulullah dan putra dari kekasihnya (Zaid bin Harits), dan Bilal bin
Rabah, Mu’azin yang dipilih Rasulullah.
Akhirnya,
waktu shalat Dzuhur tiba.
Ribuan
orang berkumpul di sekitar Rasulullah, termasuk orang-orang Quraisy yang baru
masuk Islam saat itu, yang mana masuk dengan suka hati maupun terpaksa.
Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu.
Pada
saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah memanggil Bilal bin Rabbah agar
naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana.
Bilal
melaksanakan perintah kekasihnya dengan senang hati, lalu mengumandangkan adzan
dengan suaranya yang bersih dan jelas.
Ribuan
pasang mata memandang ke arahnya, dan ribuan lidah menyahuti kalimat adzan yang
dikumandangkannya. Tapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan
sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad/dengki di dalam dadanya.
Saat
adzan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan
rosuulullaahi” (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah), Juwairiyah
binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang,
kami tetap akan shalat. Tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah
membunuh orang-orang yang kami sayangi.”
(Maksudnya,
adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.)
Khalid
bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku,
dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.”
(Kebetulan
ayahnya meninggal, sehari sebelum Rasulullah dan pasukan Muslimin masuk ke kota
Mekah.)
Sementara
al-harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati
saja, sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka bah.”
AI-Hakam
bin Abu al- Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang
budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka bah).”
Sementara
itu, Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku tidak mengatakan
apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat. Maka,
itu pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah.”
Kisah wafatnya kekasih Bilal bin Rabbah
Bilal
menjadi muazin tetap selama Rasulullah hidup. Selama itu pula, Rasulullah sangat
menyukai suara yang selalu melantunkan “Ahad, Ahad” (Allah Maha Esa), walaupun
disiksa dengan berat.
Namun
pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriah, atau 8 Juni tahun 632 Masehi,
kabar duka menyelimuti seluruh umat Islam, karena Sang Utusan Terakhir telah
meninggalkan mereka yang masih hidup.
Sesaat
setelah Rasulullah Saw. mengembuskan nafas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal
berdiri untuk mengumandangkan adzan, sementara jasad Rasulullah shalallahu
alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan.
Saat
Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi” (Aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah), tiba-tiba suaranya terhenti. Beliau
tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Karena mengingat, jika sang kekasih
sudah tak lagi di sisinya.
Kaum
muslimin yang hadir di sana juga tak kuasa menahan tangis. Maka, meledaklah
suara isak tangis di seluruh penjuru kota, yang membuat suasana semakin kelabu.
Sejak
kepergian Rasulullah, Bilal hanya sanggup mengumandangkan adzan selama tiga
hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi”
(Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah), beliau langsung menangis
tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan
yang pilu.
Karena
itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah sebagai
pemimpin/ khalifah, agar diperkenankan untuk tidak mengumandangkan adzan lagi,
karena tidak sanggup melakukannya.
Selain
itu, Bilal juga meminta izin kepada Abu Bakar untuk keluar dari kota Madinah,
dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.
Awalnya,
Abu Bakar merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal, sekaligus
mengizinkannya keluar dari kota Madinah. Namun, Bilal mendesaknya seraya
berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka
engkau berhak menahanku. Tapi, jika engkau telah memerdekakanku karena Allah,
maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.”
Abu
Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu karena Allah, dan aku
memerdekakanmu, juga karena Allah.”
Bilal
menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa
pun setelah Rasulullah Sholallahu alaihi wa sallam wafat.”
Abu
Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.”
Bilal
pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar.
Beliau tinggal di daerah Darayya, yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus.
Kisah adzan terakhir Bilal bin Rabbah
Bilal
benar-benar tidak mau mengumandangkan azan sejak wafatnya Rasulullah Saw. Hingga suatu malam, Rasulullah hadir
dalam mimpi Bilal, Seraya menegurnya:
“Ya
Bilal, Wa maa hadzal jafa? (Hai Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku?
Mengapa sampai seperti ini?)”.
Dengan
kejadian mimpi itu, beliau pun bangun dan segera mempersiapkan diri untuk
melakukan perjalanan ke Madinah untuk berziarah ke makam Rosululloh. Kedatangan
beliau disambut Umar ibnul Khattab (yang menjadi Khalifah, menggantikan Abu Bakar),
setelah terpisah cukup lama.
Setiba
di pelataran Masjid Nabawi, Bilal tidak dapat menahan rindu dan kesedihannya
pada Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian,
datang cucu Rosululloh; Sayyidina Hasan dan Husein.
Dengan
mata sembab oleh tangis, Bilal yang kian beranjak tua memeluk kedua cucu
tercinta Rosululloh tersebut.
Salah
satu cucu Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilal:
“Paman,
Maukah engkau sekali saja mengumandangkan Adzan untuk Kami? Kami ingin
mengenang Kakek Kami.”
Umar
bin Khattab juga memohon kepada Bilal untuk mengumandangkan adzan, Meski hanya sekali
saja.
Dengan
perasaan berat, lalu Bilal pun memenuhi permintaan itu.
Saat
waktu sholat tiba, beliau naik pada tempat yang dahulu biasa ia tempati untuk
mengumandangkan adzan, pada masa Rosululloh masih hidup. Dan, mulailah dia
mengumandangkan adzan.
Saat
lafadz “Allohu Akbar” dikumandangkan olehnya, Mendadak seluruh Madinah senyap,
segala aktifitas terhenti, semuanya terkejut.
Suara
yang telah bertahun-tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok Nan Agung,
suara yang begitu dirindukan, telah kembali.
Ketika
Bilal meneriakkan kata “Asyhadu an laa ilaha illolloh”, Maka seluruh isi kota
Madinah berlarian ke arah suara itu, sambil berteriak. Bahkan, para gadis dalam
pingitanpun mereka keluar menuju ke arah suara yang berkumandang.
Dan
saat Bilal mengumandangkan “Asyhadu anna Muhammadan Rosululloh”, Maka, Madinah
pecah oleh tangisan dan ratapan yang sangat memilukan.
Semua
menangis, teringat masa-masa indah bersama Rosululloh. Umar bin Khattab lah yang
paling keras tangisnya. Bahkan, Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan
adzannya, lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai.
Hari
itu, Madinah mengenang masa saat masih adanya Rosululloh di antara mereka.
Hari
itu adalah adzan pertama dan terakhir bagi Bilal setelah Rosululloh wafat.
Itulah adzan Bilal yang tak bisa dirampungkan karena tak sanggup lagi menahan
kesedihan.
Setelah
kejadian itu, Bilal menetap tinggal di Damaskus hingga wafat pada tahun 20 H. Beliau
satu di antara 3 muadzin Rasulullah Saw, yaitu Bilal bin Rabah, Abu Mahdzurah
al-Jumahi, dan Abdullah bin Ummi Maktum.
Wallohu’alam
Sumber:
https://docplayer.info/32012448-Bibliografi-dan-latar-belakang-bilal-bin-rabah-al-habashi-ra-muazin-pertama-dalam-sejarah-islam.html