Aktivis, Organisatoris, atau Akademis?

credit: eg.wikipedia.org 

Pilih yang mana? Aktivis, Organisatoris, atau Akademis?

Aktivis, Organisatoris, atau Akademis – Sebagai seorang mahasiswa, tentu saja istilah-istilah seperti Aktivis, Organisatoris, atau Akademis akan selalu terngiang oleh kita, para mahasiswa. Terlebih lagi, saat orentasi di awal masuk kampus, kita akan disajikan dengan banyak hal-hal baru. Mulai dari lingkungan kampus, kehidupan kampus, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan ‘dunia kampus’.

Selanjutnya, mulailah paradigma di mana para mahasiswa baru akan menjadi binggung, bahkan membuat kita terjebak dalam lubang yang sangat dalam. Ya, itu adalah beragamnya kegiatan kampus, yang membuat kita terlupakan dengan tujuan awal kita memasuki dunia kampus.

Aktivis, Organisatoris, dan Akademis.

Inilah gaung terbesar yang selalu didendangkan, hampir oleh
semua mahasiswa dalam mengait hati juniornya. Embel-embel yang selalu mereka dendangkan adalah  mampu menyeimbangkan antara ketiga hal
tersebut. 

Tapi sayang…

Itu hanya selalu menjadi cita-cita atau mimpi. 

Dalam realitasnya, para mahasiswa itu hanya tahu tujuannya,
namun tak pernah bisa mengapai sosok mahasiswa ideal yang mampu menjadi seorang Aktivis, Organisatoris, dan Akademis yang begitu diharapkan.

Karenanya, mereka hanya bisa menjadi salah satunya saja. Bahkan jika lebih buruk, mereka tak akan menjadi salah satunya! 

Dan itu bukan hanya beberapa orang!

Mengapa ini bisa terjadi?

1. Karena mereka terlalu fokus pada salah satunya saja, dan
meninggalkan yang lain.

Sadarkah jika hal ini yang terjadi? Jika tidak, cobalah lihat sekelilingmu. Terlebih lagi, jika kita menyadari kehidupan mereka, yang telah menjadi mahasiswa sebelum era kita. 

Nah…

Ini adalah realita yang banyak tejadi, di mana ketika
seorang mahasiswa telah memilih organisasi, maka akademiknya akan down. Ketika seseorang memilih akademiknya, maka sisi aktivismu akan down

Namun anehnya, jika kamu memilih organisasi dan menjadi seorang aktivis, tentu saja akademismu akan jatuh. Tapi, ketika kamu memilih akademismu, maka kamu juga memilih organisasi, sebagai anggota. Dan, sikap aktivismu akan ada, namun hanya sedikit.

2. Karena mereka terlalu mementingkan dirinya sendiri atau
kelompoknya saja.

Nah, untuk yang kedua ini adalah dampak tak kala seorang
mahasiswa telah memilih, mau sebagai apa dirinya. Organisatoris atau akademis? Atau bahkan, aktivis??

Ketika sudah memilih, ia biasanya akan terbawa arus di dalam
komunitas-nya tersebut, entah itu Aktivis, Organisatoris, dan Akademis. Naasnya, komunitas tersebut merupakan kumpulan orang-orang egois, yang menyatakan diri mereka sebagai “manusia loyalitas”, atau manusia yang harus memiliki komitmen dan loyalitas kepada komunitasnya.

Parahnya, ‪konsep loyalitas ini disalah-artikan, demi kepentingan
kelompok atau individu yang ada di dalamnya.

Sehingga, bagi mereka yang tak dianggap loyal, mereka akan segera tersingkir dari ‘tempat utama’ di komunitas tersebut. Namun terkadang, mereka akan ‘disisihkan’ atau bahkan ‘tak dianggap’, karena tak sering berkumpul bersama anggota komunitas tersebut.

3. Karena mereka belum tahu tujuan hidupnya.

Ya, benar. Ini adalah fakta, di mana kebanyakan orang yang pergi ketempat baru, selalu menjadi ‘anak baru’ yang akan didekte oleh seniornya. Hal ini juga berlaku bagi para mahasiswa baru. Karena, kita adalah ‘mangsa empuk’ yang bisa di buat penerus
sistem monarki idealisme bagi para masiswa senior. 

Ya benar, penerus idealisme yang selalu saja diselipi berbagai kepentingan.

Hal ini diperparah, dengan banyaknya mahasiswa baru yang begitu kuper dalam
dunia kampus. Sehingga, mereka dengan senantiasa mengikuti semua hal yang ‘menurut mereka benar’. Termasuk, doktrin dari para senior, yang menggaungkan selogan ‘mahasiswa ideal’.

Nah, cerdiknya para senior selalu memanfaatkan kepolosan para mahasiswa baru dalam masa recruitment anggota, dan menanamkan doktrin-doktrin yang
mereka dapat dari sesepuh/mahasiswa yang lebih senior.

Biasanya…

Cara mahasiswa senior dalam mengaet hati mahasiswa baru:

1. Sok bijak dan dewasa.

2. Sok melindungi dan peduli.

3. Sok… rahasia.wkwk

Kenapa harus ‘sok’? 

Karena, mereka harus hanya dan dewasa di depan mahasiswa baru, demi mendapatkan ‘rasa hormat’ dari juniornya. Parahnya, sikap itu ternyata tak diterapkan dalam kesehariannya. Terlebih lagi, dalam dirinya senidiri, yang harus bijak memilih antara 

Aktivis, Organisatoris, dan Akademis.

Dari 3 indikator ‘sok’ di atas, maka tentu saja, untuk menjadi mahasiswa ideal… itu sungguh sangat tidak mungkin. 

Kenapa?

Karena sejatinya Organisatoris dan Akademis diibaratkan
kaki kanan dan kaki kiri, dalam mengarungi sistem politik praktis yang dinamis, dalam
kehidupan sehari-hari.

Oleh sebab itu, sangatlah penting bagi mahasiswa untuk bisa
tahu dan mengerti tentang sistem dalam politik kehidupan itu.

Ya, politik kehidupan di lingkungan kampus.

‪#catatan: 

“Tak selamanya aktif itu baik, karena akif harus diiringi dengan ketelitian
dan perhitungan yang matang, agar mampu memberikan dampak positif sebanyak-banyaknya. Entah itu untuk diri sendiri atau lingkungan sekitar.”

Lantas, hal apa yang harus dilakukan kita, sebagai mahasiswa baru?

Jika kita sudah punya ‘sepasang kaki’ untuk melangkah, lantas apa yang kalian dibutuhkan untuk bisa terhindar dari mara bahaya di
depan kalian?

Jawabannya:

Mata/ penglihatan/ pandangan hidup

Nah, yang menjadi mata itu apa? 

Yap benar, orang-orang
AGAMIS. 

Mengapa begitu? 

Karena secara fitrahnya, mereka takkan mau untuk
melakukan sesuatu yang buruk dan cenderung melakukan hal-hal yang baik.

‪#ah,
orang agamis saja banyak yg melakukan kesalahan.

Yap, itu benar. Namun, itu hanya dilakukan oknum manusia-nya saja. Dan bukan pemikiran agamis yang ada di dalamnya.

Sehingga, bersikaplah bijak. Ambil yang baik, yang sesuai dengan norma agama, agar dirimu tak terseret dengan ‘hal baik yang tak sesuai agama’.

Jika diteruskan lebih dalam…

Kesimpulannya, ‘mahasiswa ideal’ yang selalu digemborkan adalah mahasiswa yang
bisa mengerti konsep dua kaki untuk berjalan, dan memerlukan pandangan hidup yang sesuai dengan norma agamis. Semua itu diperlukan untuk tetap bisa selamat di dunia, dan selamat di akhirat sana.

Sadarlah,

Jika kita tidak kuat ‘berjalan sendiri’ dalam satu tubuh atau
kelompok, maka mintalah nasihat pada seseorang yang kalian tahu, yang ahli dalam hal-hal tersebut. Terlebih lagi, mintalah satu hal yang pasti,

“Bagaimana cara menjadi bijak dalam semua itu.”

Contoh: 

Andai kita hanya ahli dalam organisatoris, sehingga menjadi aktivis. Maka, datangi, berteman, dan mintalah nasehat dengan orang yang ahli di bidang akademis.

Namun, ingat! Jangan terbawa dengan idealisme akademis, karena idealisme terbaik adalah keseimbangan yang menyelamatkanmu di dunia dan akhirat.

Maksudnya, saringlah mana yang baik saja… ambilah dan
manfaatkanlah.

Cerdas, bukan berarti keras.

Keras, bukan berarti kolot.

Kolot, bukan berarti tak berfikir.

Wallohu’alam

Leave a Comment