Cinta dalam diam dua sejoli

Kisah cinta dalam diam, dua sejoli muda, Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra

Ali bin Abi Thalib adalah keponakan Rosululloh Saw melalui Ayah beliau Abi Thalib bin Abi Muntholib dan Abdulloh bin Abi Muntholib, yang bersaudara.

Beliau sejak kecil, telah bersama dengan Rosululloh Saw dan membantunya, apalagi setelah kematian Ayahnya, Abi Thalib.

Semenjak itu, Ali kecil sering bermain dan menjaga Fatimah kecil, buah hati antara Rosululloh Saw dan Siti Khadijah.

Seiring berjalannya waktu, ada benih-benih aneh di hatinya, saat melihat kecantikan Fatimah dan sikapnya yang semakin dewasa.

Setelah mereka berdua beranjak dewasa, Ali ingin melamar sang pujaan hati. Namun, beliau merasa tak pantas, karena masih serba kekurangan. Terlebih lagi, semenjak beliau ikut Hijrah ke Madinah.

Lalu, saat beliau sedang gusar dalam keresahan hatinya, datang kabar dari bilik rumah sang kekasih hati.

“Abu Bakr, melamar Fatimah.”

Kabar itu membuat Ali merasa lebih resah. Namun, beliau memikirkan sosok yang menjadi calon pujaan hatinya itu.

Dialah Abu Bakr As-Sidiq.

Sosok yang telah menemani Rosululloh Saw kemana pun. Termasuk beliau lah yang menemani perjalanan Hijrah Rosululloh Saw dari Makkah.

Apalagi, sudah banyak saudagar kaya Makkah yang telah memeluk Islam atas usaha beliau. Sebut saja ‘Utsman, ‘Abdurrahman bin auf, Thalhah, Zubair, Sa’d bin abi Waqqash, Mush’ab, dll,


Itu sangat berbeda dengan Ali remaja yang tak memiliki kekuatan diplomatik apapun.


Terlebih lagi, Abu Bakr adalah saudagar kaya raya, yang berbanding terbalik dengan Ali yang serba kekurangan.


“Insyaalloh, dia akan bahagia.”


Namun, ucapannya tak selurus dengan fakta.


Lamaran Abu Bakr ditolak oleh Fatimah.


Api semangat cinta terbakar kembali. Beliau terus berusaha untuk mengumpulkan mahar.


“Umar melamar Fatimah.”


Kemudian, datang badai yang cepat memadamkan api semangatnya.


Al-Faruq, yang telah menjadi panglima perang, penguat pengaruh politik Islam, dan si Singa Padang Pasir. 


Tentu saja, Ali merasa jauh dari kapasitas Umar bin Khattab yang telah memiliki wibawa, karisma, dan kekuatan. Terlebih lagi, jika itu di medan perang.


“Insyaalloh, dia akan bahagia.”


Ali merasa, jika sosok yang mendapatkan pujaan hatinya, adalah sosok yang sangat pantas. 


Namun, perkiraan beliau meleset lagi.


Lamaran Umar ditolak Rosululloh Saw, atas nama Fatimah.


Saat melihat itu, bara cinta kembali menyala.


Tapi, belum sempat api cinta itu membesar, datang kabar lain.


“Abdurrahman bin Auf melamar Fatimah.”


Seorang saudagar kaya, yang telah memiliki jaringan perdagangan yang luas, mulai dari seluruh semenanjung Arab hingga negeri Syam. Dan sahabat yang berani memberikan semua harta miliknya untuk perang Fi sabilillah.


Kali ini, Abdurrahman bin Auf datang melamar dengan membawa 100 unta bermata biru dari mesir dan 10.000 Dinnar (jika diuangkan dalam rupiah kira kira 60 milyar. Kurs Rp 13.000).


“Insyaalloh, dia akan bahagia.”

Kembali, Ali hanya bisa berkecil hati dan mulai berusaha menerima kenyataan itu. Namun, itu hanya sesaat, karena lamaran Abdurrahman bin Auf juga ditolak Rosululloh Saw atas kehendak Fatimah.

Belum sempat Ali bangkin dari fakta mencengangkan itu, sahabat lain dan juga saudara jauhnya, Ustman bin Affan melakukan tindakkan.

“Ustman melamar Fatimah.”

Namun, tak lama kemudian, datang kabar mengejutkan. Jika lamaran Ustman juga ditolak Rosululloh Saw.

Saat beliau merenung, membayangkan jika punya mahar yang cukup. Tentu dirinya akan segera bergegas menuju rumah sang pujaan hati. Agar, tiada orang lain lagi yang mendahuluinya. Namun, itu hanya harapan di atas angan-angan.

Lalu, setelah didorong oleh hasrat dan teman-temannya. Beliau akhirnya memberanikan diri menuju rumah Rosululloh Saw.

Setelah mengucap salam, beliau duduk di samping Rosululloh Saw. Beliau terus diam, karena kebingungan mau memulai semua dari mana.

“Wahai putra Abi Thalib, apa yang engkau inginkan?” ucap Rosululloh Saw memecah keheningan.

Dengan jantung yang berdetak kencang, dan bibir yang terbata-bata, beliau berucap.

“Yaa Rosululloh, aku ingin meminang Fatimah.”

“Ya… wahai putra Abi Thalib, belakangan ini banyak yang melamar Fatimah. Maka, tunggulah jawaban putriku.”

Rosululloh Saw tersenyum dan beranjak menuju Fatimah yang berada di balik bilik kayu.

Di sana, Fatimah hanya tertunduk, terdiam, dan memainkan jari-jarinya.

Rosululloh Saw kembali tersenyum dan segera kembali pada pemuda yang sedang gusar itu.

“Apakah engkau memiliki sesuatu yang akan engkau jadikan mahar, wahai Ali?”


“Demi orang tuaku yang menjadi penebusnya untukmu, Yaa Rasulullah… tak ada yang aku sembunyikan darimu. Aku hanya memiliki seekor unta untuk membantuku menyiram tanaman, sebuah pedang, dan sebuah baju zirah dari besi.”


“Wahai Ali, tak mungkin engkau terpisah dengan pedangmu. Karena dengannya, engkau membela diri dari musuh-musuh Allah SWT. Dan tak mungkin juga, engkau berpisah dengan untamu, karena ia engkau butuhkan untuk membantumu mengairi tanamanmu. 


Aku terima mahar baju besimu. Jual lah dan jadikan sebagai mahar untuk putriku. 


Wahai Ali, engkau wajib bergembira, sebab Allah sebenarnya sudah lebih dahulu ‘menikahkan’ engkau di Langit, sebelum aku menikahkan engkau di Bumi.” 


Kemudian, Ali segera menjual baju besinnya dengan harga 4.000 Dirham (sekitar Rp 5-7 juta an).

Rosululloh Saw menerima mahar itu, dan membaginya menjadi 3 bagian.

Satu bagian untuk kebutuhan rumah tangga, satu bagian untuk wewangian saat walimah, dan satu bagian lagi dikembalikan kepada Ali, sebagai biaya untuk jamuan makan untuk para tamu yang menghadiri pesta.


Setelah semua persiapan telah selesai. Rosululloh Saw menikahkan Ali dengan Fatimah, dan disaksikan oleh para sahabat yang lain.


Dalam khutbah nikah, Rosululloh Saw bersabda:
Sesunguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkanku untuk menikahkan Fatimah binti Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib. Maka saksikanlah, sesunguhnya aku telah menikahkanya dengan mas kawin empat ratus dihram (nilai sebuah baju besi), dan Aku ridho (menerima) mahar tersebut.”


Dan malam harinya, setelah dihalalkan oleh Allah SWT, terjadilah percakapan yang sangat menggetarkan hati. 
Dalam suatu riwayat dikisahkan, suatu hari setelah keduanya menikah, Fatimah berkata kepada Ali,
“Maafkan diriku, karena sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta kepada seorang pemuda, dan aku ingin menikah dengannya.”
Ali pun bertanya, 
“Mengapa kamu tak mau menikah dengannya? Dan apakah engkau menyesal menikah denganku?”
Sambil tersenyum Fatimah menjawab, “Pemuda itu adalah dirimu.”
Semoga Allah SWT mempertemukan kita semua dengan orang yang sunguh-sunguh mencintai kita, seperti Fatimah dan Ali…
Wallohu’alam.

1 thought on “Cinta dalam diam dua sejoli”

Leave a Comment