Kebahagiaan seorang anak, atau kebahagianmu?

Fase-fase dalam mendidik seorang anak.

Pendidikan pada seorang anak adalah hal yang sangat umum bagi bagi masyarakat kita. Terlebih lagi, dengan banyaknya metode-metode yang telah dipublikasikan oleh para ahlinya.

Namun, pernahkah kita membaca atau mengerti mereka? Dan sampai kapan kita harus mengerti dan mulai memberi mereka hukuman?

Bukankah lebih baik dengan senyuman dan hadiah?

Ah, sebelum membahas hal itu lebih jauh. Mari kita lihat tahap-tahap mendidik anak di dalam islam.

1. Fase bermain dan pengawasan (0-7 tahun)

Kita tentu sangat bahagia, ketika seorang bayi baru lahir di muka bumi ini. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, si anak juga akan mulai penasaran pada dunia di sekitarnya.

Sebenarnya, anak-anak di usia belia ini sangat cocok untuk bermain dan melatih kreativitas mereka.

Namun, jangan lupa untuk mengawasi, agar mereka tetap kreatif dalam hal-hal yang positif. Mulai dari melakukan apa yang mereka suka, hingga mengenalkan hal-hal positif yang ada di sekitarnya.

Begitu pula dalam Islam. Nabi saw juga telah memerintahkan agar mulai mengajari anak-anak umur 7 tahun untuk sholat.

Binggung mulainya?

Untuk si anak, ajarkanlah dengan mencontohkan. Percayalah, saraf motorik atau otak si anak lebih cepat menangkap hal-hal yang ia lihat dan dengarkan.

Andai kamu mulai dengan hal-hal negatif, seperti marah atau membentak. Percayalah, hal itu juga akan tertanam pada alam bawah sadar si anak.

Lebih jauh lagi, hal itu akan berdampak pada karakteristik si anak saat mulai beranjak ke sekolah dasar.

2. Fase pengajaran mental (7-14 tahun)

Selanjutnya, yaitu pengajaran di mana si anak harus mulai diajari tentang tindakan dan konsekwensi.

Biasanya, tahap inilah yang sering sekali membuat si orang tua ‘mengalah’ demi si anak. Namun, andai mereka tetap membiarkan atau memanjakan si anak, tentu saja hal itu akan membuat si anak menjadi tak terkendali.

Bahkan, Nabi saw dalam fase ini juga memerintahkan, andai si anak tak mau sholat, maka gunakanlah kekerasan.

Jadi, lebih tepatnya. Dalam fase ini, si anak harus diberikan contoh tentang tanggung jawab, tindakan dan konsekwensi, moral dan akhlak, tata krama dan adat budaya.

Semua ini harus mulai dipaksakan. Agar si anak mengerti tentang tanggung jawabnya di masa depan.

Langkah awalnya tentu saja dimulai dengan pemberian pilihan dan konsekwensinya. Contoh: “dek. mainnya satu jam lagi ya. Kalau tidak, ibu tinggal ke pasar.”

Namun, ingatlah hal ini.
Jangan menggunakan kekerasan, selagi si anak belum melanggar batasan!

Ingatlah prinsip apapun yang terjadi, si anak akan menganggap orang tua mereka seperti apa.
Apakah orang tua sebagai sahabat, sebagai dikator yang ditakuti, atau sebagai orang asing yang tak dianggap?

Semua itu akan terparti pada diri si anak, saat berada pada tahap ini.

3. Fase Dianggap dewasa (14-21 tahun)

Pada tahap ini, si anak sudah mulai terbentuk karakternya. Namun, si anak tentu masih akan memiliki berbagai macam problematika hidup yang ia miliki. Lalu, sebagai orang tua. Mulailah untuk mendekati si anak. Agar, si anak bisa menceritakan masalahnya, dan tuntunlah si anak agar mencapai pemecahan masalah yang terbaik.

Dan juga, pada tahap ini, anak-anak cenderung lebih suka untuk diberi perhatian, diakui, dan didengarkan pendapatnya.

Mengapa?

Karena, mentalitas si anak sudah bukan seseorang yang akan terus patuh saat dipaksa. Namun, si anak akan mulai memberontak dan menginginkan pengakuan dirinya. Atau dalam bahasa kerennya sekarang. “Aku ingin diakui.”

Khalil Gibran berkata
“Anakmu bukan anakmu…
Kamu bisa membuatkannya rumah dan harta…
Namun, kamu tak bisa mengekang jiwanya…”

Ya, jadi solusinya…
Jadilah teman dan sahabat si anak.

Tentunya sebagai seorang sahabat, khawatir terhadap si anak itu perlu. Namun, jangan terlalu khawatir atau Over-protective. Karena, hal itu bisa membuat si anak malah makin menjauh denganmu.  Cukup buat dirimu selalu ada untuknya, saat dia merasa terjatuh.

Namun…

Andai kita berfikir tentang kebahagiaan seorang anak, tentu akan menjadi masalah lain. Jika kita terlalu over untuk menjadikan si anak sebagai seseorang yang kita inginkan.

Ketahuilah, anak-anak yang jatuh dalam kejahatan. Kebanyakan berasal dari cara mendidik keluarganya. Kemudian, barulah dari cara dia bergaul di lingkungannya.

Engkau kira, kami ingin harta?
Engkau kira, kami ingin dunia?

Salah!

Kami hanya ingin cinta.
Kami hanya ingin kasih sayang.

Leave a Comment