Kisah Abu Lubabah saat Perang Khandaq
Abu Lubabah – Untuk kesekian kalinya, Abu Lubabah menjadi wakil Rasulullah
Saw untuk mengatur dan menjaga kota Madinah, sama seperti di dalam Perang
Badar. Yang mana awalnya adalah tugas dari Abdullah bin Ummi Maktum. Seorang
sahabat yang terkenal akan kebijaksanaannya, walaupun memiliki kondisi fisik
yang tidak sempurna.
Untuk mengetahui kisah Abu Lubabah saat terjadinya Perang
Badar, silahkan lihat di sini.
Namun di dalam perang Khandaq, sejak Awal Rasulullah Saw
telah memerintahkan beliau untuk menjadi wakil dari pemerintahan di Madinah.
Sementara, Rasulullah Saw dan pasukan Muslimin menghadang tentara aliansi dari
kaum Quraisy dan Bani Ghatafan.
Kisah berakhirnya Perang Bani Quraizah
Ketika saat pasukan Muslimin sedang menghadang pasukan aliansi
dalam perang Khandaq, Bani Quraizah yang seharusnya membantu pasukan Muslimin,
ternyata berbuat sebaliknya. Mereka dengan sengaja menghianati perjanjian
dengan Rasulullah Saw, dalam rangka untuk mempertahankan kota Madinah.
Sebagai hasilnya, ketika pasukan Muslimin berhasil
mengalahkan pasukan aliansi, Rasulullah Saw memerintahkan pasukan Muslimin
untuk langsung menuju perkampungan Bani Quraizah.
Untuk menakhlukkan kaum Yahudi Bani Quraizah, Rasulullah Saw
memerintahkan kepada pasukan Muslimin untuk melakukan pengepungan. Awalnya,
Bani Quraizah sangat sombong dan yakin, jika pasukan Muslimin yang kelelahan,
tak akan mampu bertahan lama untuk mengepung mereka.
Tapi ternyata, dugaan mereka salah.
Pasukan Muslimin terus mengepung mereka selama
berminggu-minggu. Kemudian pada akhirnya, Bani Quraizah merasakan kepayahan dan
putus asa yang memuncak, tak kala tiada yang bisa menolong mereka.
Di dalam as-Siratun Nabawiyah, karya ibnu Hisyam
(hal.793-794) diceritakan:
Tokoh pemimpin Bani Quraizah, Ka’ab bin Asad berkata kepada
kaumnya,
“Wahai kaum Yahudi! Sesungguhnya, keadaan kalian adalah
seperti yang kalian lihat sekarang. Aku tawarkan kepada kalian tiga hal,
pilihlah mana yang kalian suka!”
Mereka bertanya, “Apa saja itu?”
Ka’ab menjawab, “Pertama, kita akan mengikuti lelaki ini
(Rasulullah Saw), dan beriman kepadanya. Telah dipastikan bagi kalian, bahwa
Dia adalah seorang nabi yang diutus bagi kalian. Dia pula lelaki yang telah
disebutkan dalam kitab kalian. Jika kalian bersedia, maka darah, harta benda,
anak-anak, dan istri-isri kalian akan aman.”
Mereka menjawab, “Kita tidak akan meninggalkan hukum Taurat
selamanya, dan kita tidak akan mengambil hukum selain itu.”
Lalu, Ka’ab kembali berkata, “Jika kalian tidak setuju
dengan usulan ini, maka (pilihlah) usulan Kedua. Mari kita bunuh anak-anak dan
istri kita. Kemudian, kita keluar mengangkat pedang melawan Muhammad dan para
sahabat-nya.
Kita tidak akan meninggalkan beban di belakang (menjadi
beban fikiran) kita, hingga Allah memberi keputusan di antara kita dan mereka.
Jika kita binasa, maka selesailah urusannya! Kita tidak
meninggalkan keturunan yang akan kita khawatirkan. Dan jika kita menang, maka
demi Allah, kalian pasti akan mendapatkan (kembali pada) wanita dan anak-anak
kita lagi.”
Mereka kembali bertanya, “Jika kita dibunuh (oleh) mereka.
maka, kesenangan hidup apa lagi yang kita punya, setelah kehilangan mereka?”
Ka’ab menjawab, “Jika kalian enggan dengan ini, maka (pilihlah)
usulan Ketiga. Pada sabtu malam, mungkin Muhammad dan para Sahabat-nya akan
memberi keamanan kepada kita. Maka, menyerahlah! mudah-mudahan kita bisa
menerima (ampunan dari) Muhammad dan pasukannya.”
Mereka mengatakan, “(Jika demikian), itu berarti, kita
mengotori hari sabtu kita, yang tidak pernah dilakukan oleh para pendahulu
kita, kecuali (oleh) dirimu.”
(Pada hari sabtu, adalah hari peribadahan bagi kaum Yahudi.
Sehingga, mereka melarang kegiatan apapun, yang berkaitan dengan kekerasan dan
hal-hal lainnya.)
Kemudian Ka’ab berkata dengan nada tinggi, karena marah,
“Apa yang membuat salah seorang dari kalian menjadi keras
kepala, setelah dilahirkan ibunya (dalam) semalam suntuk?”
Setelah semakin terdesak, mereka akhirnya mengutus beberapa
orang untuk bertemu Rasulullah Saw. Mereka akhirnya memutuskan untuk menyerah,
dan melakukan perundingan kepada Rasulullah Saw.
Menilai kisah ini, Ibnu Ishak menyebutkan, “Tatkala
pengepungan sudah menjadi sangat ketat, mereka (Bani Quraizah) pun akhirnya
tunduk kepada hukum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Kisah Abu Lubabah dan Bani Quraizah
Setelah berunding lama, mereka akhirnya mengirimkan utusan
kepada Rasulullah Saw, dengan berpesan:
“Utuslah Abu Lubabah bin Abdul
Mundzir, saudara (kami dari) Bani Auf, agar menemui kami. Kami akan meminta
pendapatnya.”
Di riwayat yang lain disebutkan,
“Kami meminta Abu Lubabah lah yang dikirimkan kepada kami.
Dia seorang sahabat bagi kami. Dahulu, harta dan anak-anaknya bersama dengan
kami.”
Dahulu kala, Bani Quraizah adalah sekutu Bani Aus. Sementara
itu, harta dan anak-anak Abu Lubabah, yang merupakan bagian dari Bani Aus, juga
berada ada di wilayah orang-orang yahudi/ Bani Quraizah ini. Hal ini guna mempererat
hubungan mereka.
Utusan Bani Quraizah ini mengungkapkan keinginan dari
kaumnya itu kepada Rasulullah Saw. Mereka ingin melakukan perundingan, hanya
dengan perwakilan dari Bani Aus. Lebih tepatnya, mereka ingin perwakilan dari
kaum Muslimin adalah Abu Lubabah.
Selain Bani Aus adalah sekutu mereka di masa lalu, Abu
Lubabah adalah orang yang paling lembut hatinya. Para pemimpin Bani Quraizah
berharap, dengan simpati dari Abu Lubabah, mereka bisa mendapatkan keringanan
hukuman dari Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw setuju dengan permintaan ini. Kemudian,
Beliau Saw memerintahkan Abu Lubabah untuk pergi menemui Bani Quraizah.
Saat melihat kedatangan kedatangan Abu Lubabah, semua orang
yahudi itu mengelu-elukan dan memujinya. Para lelaki bangkit dan
mengerumuninya, sedangkan para wanita dan anak-anak menangis di hadapannya. Mereka
menangis dan meraung-raung, untuk memohon belas kasihan atas nyawa mereka.
Abu Lubabah sangat iba, melihat keadaan menyedihkan mereka,
yang telah dikepung selama 25 hari.
Mereka berkata, “Wahai Abu Lubabah, apakah kami harus tunduk
kepada keputusan Muhammad?”
Abu Lubabah menjawab, “Ya, begitulah.”
Sambil menjawab, Abu Lubabah memberi isyarat dengan tangan
yang diletakkan di lehernya. Itu dimaksudkan sebagai isyarat, jika mereka semua
akan dijatuhi hukuman mati.
Dari hatinya, Abu Lubabah sangat kecewa dengan pengianatan
dari Bani Quraizah. Bagaimana bisa beliau memaafkan seseorang yang menusuknya
dari belakang, sementara kondisinya sendiri sedang bertempur mempertaruhkan
nyawa. Andai saja Allah Swt tak menolong pasukan Muslimin, tentu saja mereka
akan mati, tanpa diragukan.
Namun, Abu Lubabah lupa, jika Rasulullah Saw tidak
mengutusnya untuk melakukan hal itu. Tentu saja, hal ini membuat beliau sadar,
jika apa yang telah dilakukannya, telah mengkhianati Allah Swt dan Rasul-Nya.
Di mana beliau merasa mendahului keputusan Allah Swt dan Rasul-Nya, yang mana
itu juga menyangkut kehidupan seseorang.
Dalam riwayat lain disebutkan, setelah memberikan isyarat
menggunakan tangannya, Abu Lubabah menyarankan mereka agar menolak keputusan
Rasulullah Saw itu. Yang mana, itu adalah keputusan yang telah diambil oleh
Sa’ad bin Muadz, yang menjadi hakim atas Bani Quraizah.
Abu Lubabah lalu menyadari kesalahannya, karena telah
lancang terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya.
“Demi Allah, kedua kakiku belum beranjak dari tempatku,
melainkan aku telah mengetahui jika diriku telah mengkhianati Allah dan
Rasul-Nya.”
Kisah taubatnya Abu Lubabah terhadap Rasulullah Saw
Setelah mengetahui jika dirinya bersalah, Abu Lubabah
langsung berlari ke masjid Nabawi dan mengikat tubuhnya di sana. Semua ini
beliau lakukan, karena ada rasa yang sangat berat di hatinya, di mana ia merasa
telah menghianati kekasihnya, Rasulullah Saw. Bahkan, beliau menolak semua
bantuan dari para sahabat yang lain, yang ingin melepaskannya dari ikatannya.
Abu Lubabah terus saja bertaubat selama tujuh hari atau
lebih, untuk mengungkapkan penyesalan beliau yang sangat dalam.
Untuk mengetahui kisah lengkapnya dari Kisah taubatnya Abu
Lubabah terhadap Rasulullah Saw, silahkan lihat di sini.
Demikianlah kisah yang dapat kita ambil hikmahnya, di mana
sebagai seorang utusan/pembawa pesan, kita dilarang untuk menyimpulkan sesuatu
atas dasar fikiran kita sendiri. Sementara, posisi kita sebagai utusan bukanlah
seseorang yang berhak untuk melakukan keputusan apapun. Alangkah baiknya, kita
harus mengetahui batasan-batasan yang ada dalam posisi kita.
Contohnya, andai kata ada seseorang (si A) yang ingin
membeli barang yang dititipkan kepada kita oleh teman kita (si B). Kita tak
bisa langsung menjual barang itu, jika si B tak memberikan wewenang terhadap
kita untuk menjualnya.
Oleh sebab itu, menjadi seseorang yang amanah, terlebih lagi
sebagai seorang pembawa pesan, itu sangatlah penting. Salah satu agar kita
tetap menjadi amanah adalah, dengan mengetahui batas-batas yang kita miliki.
Janganlah melewati batasan itu.
Wallohu’alam