Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’i
Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’i – Nama lengkap beliau adalah Nu’aim bin Mas’ud bin Amir al-Asyja’i.
Beliau merupakan seseorang yang terlahir di keluarga kabilah dagang, Bani
Ghatafan. Beliau juga dikenal dengan Abu Salamah, yang berasal dari Kabilah
Gahtafan.
Beliau hidup Makmur dan sejahtera di Najd, kota kecil di
pinggiran kota Makkah.
Pada masa mudanya, Nu’aim dikenal sebagai seorang multi-talenta,
yang bisa melakukan berbagai hal dengan sangat bagus. Hal ini juga membuat
beliau mudah berbaur dengan khalayak ramai, terutama di kalangan kaum musyrikin
dan kaum Yahudi di Madinah (pasca masuk Islam).
Nu’aim yang terlahir dari kelurga kaya di Bani Ghathafan
yang terpandang, ia juga sering mengujungi kota-kota sekitar Najd untuk
berdagang dan bersenang-senang. Hingga, dia pun cukup akrab dengan Kaum Yahudi
yang tinggal di Yatsrib. Mulai dari Bani Nadir, Bani Wail, atau Bani Quraizhah
mendekatinya, untuk mendapatkan dukungan dari keluarganya yang mempunyai posisi
penting di Najd.
Pada saat dakwah yang dilakukan oleh Muhammad dan para
sahabatnya gencar dilakukan di Makkah, Nu’aim merasa tak terganggu karena hal
tersebut. Dia masih bisa berteman dengan para Muslimin kala itu.
Namun, saat Rasulullah Saw dan para sahabatnya hijrah ke
Yatsrib dan mendirikan pemerintahannya di sana, barulah Nu’aim merasa terganggu
dan terusik.
Peristiwa sebelum terjadinya Perang Khandaq
Perang Khandaq atau juga disebut Perang Ahzab, merupakan
perang yang sangat genting dan pelik bagi kaum Muslimin. Awalnya, perang
tersebut merupakan tindakkan perlawanan dari dua kaum Yahudi (Bani Nadir dan
Bani Wail), yang telah terusir dari Madinah.
Alhasil, perwakilan Bani Nadir dan Bani Wail bertemu dengan
para pemuka Quraisy di Makkah.
Huyayy bin Akhtab yang menjadi ketua rombongan para Yahudi
di Khaibar, melakukan perjalanan ke Makkah dan bersumpah setia dengan Abu
Sufyan. Karena mereka tahu jika Abu Sufyan yang menjadi salah satu tokoh
tertinggi di Makkah, telah menderita kerugian yang sangat besar yang disebabkan
kaum Muslimin. Penyergapan kaum Muslimin terhadap rombongan kafilah dagang
miliknya saat ingin pergi ke Syam dan Yaman, membuat Abu Sufyan dan para pemuka
lainnya mendapatkan kerugian besar.
Setelah berhasil membujuk dan mempersatukan kabilah-kabilah
dagang di Makkah, Huyayy dan rombongan segera menuju ke kabilah terbesar yang
memimpin wilayah timur Makkah, Bani Ghatafan.
Dengan kesepakatan jika kaum Yahudi Khaibar akan menyerahkan
1 tahun hasil panen kurma mereka ke Bani Ghatafan, akhirnya aliansi pasukan
sebesar 10.000 tentara tercapai. Lalu, pasukan aliansi antara Kaum Yahudi
Khaibar, Kaum Quraisy Makkah, dan Bani Ghatafan melakukan perjalanan ke
Madinah.
Peristiwa saat terjadinya Perang Khandaq
Akhirnya, pasukan aliansi antara Kaum Yahudi Khaibar, Kaum
Quraisy Makkah, dan Bani Ghatafan tiba di pintu masuk kota Madinah, yang diapit
oleh dua gunung. Namun, betapa terkejutnya mereka, tak kala melihat ada parit
besar dan dalam, yang memisahkan mereka dengan pasukan Muslimin di seberang
sana, di depan kota Madinah.
Saat kondisi mental pasukan melemah, perwakilan dari Bani
Nadir maju dan mengatakan,
“Kita juga memiliki sekutu di dalam kota Yatsrib. Janganlah
kalian berkecil hati.”
Saat itu, terkuaklah rencana Bani Nadir untuk menghancurkan
umat Islam tanpa tersisa. Dengan masuknya dukungan dari kaum Yahudi Bani Quraizhah
yang tinggal di tenggara Madinah, strategi serangan depan dan belakang bisa
mereka lakukan. Hanya tinggal waktu untuk menghancurkan umat Islam.
Untuk mengetahui lebih jelas tentang Perang Khandaq,
silahkan lihat di sini.
Peran Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’i di Perang Khandaq
Diceritakan dari Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, di dalam
Sirah Nabawiyah;
Pada hari ke-20 pasca meletusnya perang Khandaq, tak ada
kemajuan signifikan yang dicapai pasukan aliansi. Semua ini karena parit besar
yang tak ladzim digunakan di dalam peperangan Arab, menjadi masalah serius bagi
pasukan aliansi.
Tak kala mereka melancarkan serangan dari berbagai sisi,
panah pasukan Muslimin akan menghujani mereka. Andai mereka terus menerobos,
stamina pasukan atau kendaraan yang dipakai akan habis, karena harus melewati
parit berpasir itu. Ditambah pula, pasir di parit itu akan semakin panas tak
kala siang hari, dan sangat dingin tak kala malam tiba.
Di sisi lain, Bani Quraizhah yang berada di belakang kaum
Muslimin, mendapatkan tekanan dari pasukan penjaga Muslimin, yang mengelilingi
perkampungan mereka. Bahkan, ketika mereka hendak keluar untuk menyerang,
penjaga Muslimin akan langsung memerangi mereka.
Sehingga, tanpa adanya serangan signifikan dari barisan
pasukan aliansi, pasukan Bani Quraizhah tidak mampu bergerak, kecuali
mengirimkan para pembunuh.
Di kala keadaan terjepit itu, Allah Swt juga menolong kaum
Muslimin dengan mendatangkan badai pasir dari arah barat pasukan aliansi. Pada
hari ke-20 pengepungan tersebut, tenda-tenda dan kemah pasukan aliansi rusak
tertiup badai. Kemudian, hal itu juga berdampak pada mental mereka yang mulai
goyah. Karena, mereka tak bisa mendapatkan kemajuan yang berarti, yang telah
mereka rencanakan sejak awal.
Pada malam harinya, Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’i yang telah
melihat jika tanda-tanda seperti ini tak bisa dilakukan oleh manusia biasa. Di
mana ada sekelompok orang bisa melindungi diri dari musuh di depan dan
belakangnya, walaupun jumlah mereka sangatlah sedikit. Ide perang yang membuat
parit besar, yang mana itu tak ladzim bagi bangsa Arab. Lalu, bagaimana alam
membantu mereka dengan mengirimkan badai, yang tak seharusnya ada di musim
dingin seperti ini.
Setelah Allah Swt memberikannya hidayah itu, Nu’aim merenung
lalu memutuskan untuk menemui Rasulullah Saw secara diam-diam dan bersyahadat
kepada Beliau Saw.
Usai bersyahadat, Nu’aim berkata, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku telah masuk Islam. Sementara kaumku tidak mengetahui tentang
keislamanku ini. Maka, perintahkanlah kepadaku, apa pun yang engkau kehendaki.”
Lalu, Rasulullah Saw bersabda, “Engkau adalah
satu-satunya orang (yang bisa), berilah pertolongan kepada kami menurut
kesanggupanmu, karena peperangan ini adalah tipu muslihat.”
Setelah mendapatkan perintah dari Rasulullah Saw, seketika
itu pula Nu’aim pergi menemui Bani Quraizhah, yang sejak dulu adalah teman-nya.
Sesampainya di sana, beliau berkata, “Kalian sudah tahu
cintaku kepada kalian, khususnya antara diriku dan kalian.”
Mereka menjawab, “Engkau benar.”
Nu’aim berkata, “Para Quraisy tidak bisa disamakan
dengan kalian. Wilayah ini adalah wilayah milik kalian. Di sini harta benda,
anak-anak, dan istri-istri kalian. Kalian tidak akan sanggup meninggalkan wilayah
ini, untuk pindah ke tempat lain.
Sementara itu, Quraisy dan Ghatafan datang ke sini untuk
memerangi Muhammad dan rekan-rekannya. Lalu, kalian memberikan dukungan kepada
mereka. Padahal kalian tahu, wilayah, harta benda, dan wanita-wanita mereka
berada di tempat lain.
Jika mereka merasa mendapat kesempatan lain, tentu
kesempatan itu akan mereka pergunakan sebaik-baiknya. Jika tidak, mereka pun
akan kembali ke wilayah mereka dan meninggalkan kalian bersama Muhammad, yang
akan melampiaskan dendam kepada kalian.”
Mereka lalu bertanya, “Lalu, bagaimana seharusnya,
wahai Nu’aim?”
Nu’aim menjawab, “Kalian tidak perlu berperang bersama
mereka lagi, kecuali setelah mereka memberikan jaminan kepada kalian.”
Setelah itu, Nu’aim langsung pergi ke pasukan aliansi,
menemui Quraisy dan Ghatafan. Lalu, dia menyebarkan isu yang serupa kepada
mereka.
Beliau menyatakan jika setiap pihak yang ikut dalam
peperangan ini telah menerima kerugian besar, karena jalur perdagangan mereka
telah dikuasai oleh kabilah-kabilah yang tak ikut serta berperang. Atau, beliau
berkata, jika Bani Nadir dan Wail yang menjadi ‘sponsor’ mereka, masih
mendapatkan untung besar, dengan absennya mereka dari perdagangan.
Seperti halnya dengan apa yang dikatakan pada Bani
Quraizhah, Nu’aim berkata, “Kalian tidak perlu berperang bersama mereka
lagi, kecuali setelah mereka memberikan jaminan kepada kalian.”
Akhirnya, pasukan aliansi mulai termakan dengan tipu
muslihat Nu’aim. Tepatnya malam Sabtu, bulan Syawal 5 H, kaum Quraisy, Ghatafan,
dan Yahudi saling mengirimkan pesan, untuk meminta jaminan dan dukungan selama
dan pasca perang.
Tapi, tak ada satupun kesepakatan yang tercapai. Hal ini dikarenakan,
Allah Swt yang telah memberikan hati mereka keragu-raguan, dan juga mereka yang
telah merasa dirugikan, tak ingin semakin merugi.
Dengan fakta tersebut, mereka saling mencurigai dan
mempercayai perkataan Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’i.
Nu’aim yang sukses memperdayai pasukan aliansi, menciptakan
perpecahan di barisan kabilah Quraisy dan Bani Ghatafan. Sehingga, semangat
mereka menjadi turun drastis. Terlebih lagi, dengan Bani Quraizhah yang tak
menunjukkan pergerakan signifikan, untuk memulai serangan dari belakang barisan
pasukan Muslimin.
Sementara itu, Rasulullah Saw dan kaum Muslimin selalu
berdoa kepada Allah, “Ya Allah, tutupilah kelemahan kami dan tenangkanlah
kegundahan kami.”
Diriwayat yang lain diceritakan,
Ketika pasukan Bani Ghathafan yang dipimpin oleh Uyaynah bin
Hishn berangkat menuju Madinah, Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’i ikut serta dalam
pasukan ini. Selain karena kesepakatan dengan Bani Nadir yang akan memberikan
hasil panen Khaibar selama satu tahun, keyakinan mereka akan kemenangan telah
dijamin dengan satu hal penting lagi.
Bani Nadir yang telah menguasai Yatsrib di masa lalu,
berhasil membujuk sepupu jauh mereka, Bani Quraidzah, untuk membatalkan
perjanjian damai dengan kaum Muslimin.
“Kali ini, Muhammad pasti kalah,” kata mereka,
yang disambut dengan baik oleh para pemuka Bani Quraidzah.
Dengan serangan penjepit ini, tentu saja, kemenangan adalah
hal yang sangat mudah. Terlebih lagi, dengan jumlah pasukan Muslimin tak sampai
sepertiga dari jumlah pasukan aliansi antara Kaum Quraisy, Bani Ghathafan, dan
kabilah-kabilah lain.
Sementara itu, di Yatsrib sendiri, berita tentang datangnya
puluan ribuan pasukan dari Makkah dan Najd, dan pemutusan perjanjian sepihak
oleh Bani Quraidzah yang terjadi sesudahnya, segera terdengar dengan cepat ke
Madinah.
Para munafik yang berada di tengah-tengah kaum Muslimin pun
mulai membuka kedok mereka, dan mulai menurunkan moral kaum Muslimin.
Setelah itu, banyak dari mereka yang terang-terangan
meninggalkan Madinah, dengan berbagai alasan. Seperti, takut keluarga mereka
akan musnah, jika mendadak Bani Quraidzah menyerang. Ataupun, tidak mungkinnya
pasukan muslim yang hanya berjumlah 3.000 pasukan, bisa menahan puluhan ribu
pasukan aliansi.
Sampai pada suatu malam di hari ke-20 pengepungan Madinah,
Rasulullah Saw yang berdoa di gunung Sila (Sal’a), mengadu kepada Allah Saw
tentang kondisi pelik ini.
“Ya Allah, aku memohon pertolongan-Mu, sesuai dengan apa
yang Engkau Janjikan.”
Sementara itu, di seberang parit yang luas, seorang tokoh
Bani Ghathafan, Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’i, tengah berbaring dalam tendanya
dengan gelisah.
Dia meyakinkan dirinya, apa yang dilakukannya adalah suatu
kebenaran. Namun, di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang salah.
“Sungguh, alangkah bodohnya diriku ini. Selama ini,
hidupku dipenuhi dengan kesenangan yang menipu dan kegembiraan sesaat. Namun,
mengapa kini aku melawan Muhammad, yang katanya bisa mengajarkan kehidupan yang
dipenuhi ketenteraman yang abadi? Bukankah aku tak ingin kembali ke kehidupanku
yang sebelumnya?”
Saat itu, Nu’aim mendapat hidayah Allah Swt.
Malam itu juga, dia memacu kudanya dan menuju ke pasukan
Muslimin. Sesampainya di sana, dia meminta izin untuk bertemu dengan Rasulullah
Saw, bukan sebagai musuh atau utusan. Dia ingin bertemu karena ingin memastikan
kegundahan hatinya tersebut.
Ketika Rasulullah Saw melihatnya Nu’aim berdiri di
hadapannya, Beliau Saw bertanya,
“Apakah engkau Nu’aim bin Mas’ud?”
“Benar, wahai Rasulullah,” jawab Nu’aim.
“Apa yang mendorongmu datang ke sini, pada saat seperti
ini?”
Nu’aim menjawab dengan sungguh-sungguh, “Aku datang
untuk menyatakan pengakuanku. Tidak ada Tuhan selain Allah dan seusungguhnya
engkau adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku mengakui agama yang engkau bawa,
itu sungguh benar adanya.”
Kemudian, dia melanjutkan,
“Wahai Rasulullah, sungguh aku telah benar-benar masuk
Islam. Dan kaumku tidak mengetahui jika aku telah masuk Islam. Perintahkanlah
kepadaku, perintah apa saja yang dapat aku laksanakan.”
Rasulullah Saw menjawab, “Engkau hanya seorang yang
bisa. Kembalilah kepada kaummu! Dan jika kamu sanggup, takut-takutilah mereka jika
sesungguhnya mereka lemah dan kami kuat. Sesungguhnya, perang itu adalah tipu
daya.”
“Baiklah, wahai Rasulullah. Insyaallah, Engkau akan segera
melihat sesuatu yang menggembirakan.”
Setelah itu, Nu’aim segera berangkat menuju ke perkampungan
Bani Quraidzah, yang telah menjadi sahabat baiknya. Beliau berhasil meyakinkan
mereka, untuk tidak dalam pertempuran melawan Rasulullah Saw.
Nu’aim berkata di tengah-tengah Bani Quraidzah, “Jangan
kalian bantu mereka (Quraiys) untuk memerangi Muhammad, sebelum kalian minta
jaminan kepada kedua sekutu kalian itu (Bani Ghathafan dan Kaum Quraisy), yakni
pemuka-pemuka atau bangsawan-bangsawan terpandang dari mereka, sebagai jaminan
atas peperangan ini.
Sampai kalian memenangkan peperangan ini dan menguasai wilayah
ini, atau kalian mati bersama-sama dengan mereka.”
Bani Quraizhah pun menerima saran itu.
“Engkau benar, Abu Salamah.”
Setelah itu, Nu’aim segera beranjak menuju ke pasukan
Quraisy dan Ghathafan, yang ada di luar Kota Madinah.
Di sana, beliau segera menemui pimpinan pasukan Quraisy, Abu
Sufyan bin Harb yang saat itu dikelilingi para pembesar Quraisy lainnya.
Nu’aim merayu mereka, agar tidak melanjutkan serangan
bersama, sampai mereka mendapatkan jaminan akan kerugian dan keberhasilan
mereka dalam perang ini.
Nu’aim juga mengatakan, jika Bani Quraizhah menyesal, karena
memutusan perjanjian dengan Muhammad Saw. Mereka juga akan membantu Rasulullah Saw
untuk menghadapi pasukan aliansi.
Mendengar penjelasan Nu’aim, Abu Sufyan berkata, “Engkau
adalah sekutu kami yang baik. Semoga engkau mendapat balasan yang baik pula.”
Setelah berhasil menyakinkan kaum Quraisy, Nu’aim bin Mas’ud
al-Asyja’i menuju ke kaumnya, Bani Ghathafan untuk melakukan hal yang sama,
seperti yang ia lakukan pada Bani Quraizhah dan kaum Quraisy.
Setelah itu, datanglah pertolongan Allah Saw yang dijanjikan
kepada Nabi-Nya.
Badai pasir datang untuk meluluh-lantakkan tenda-tenda dan
menakut-nakuti hewan tunggangan pasukan aliansi. Akhirnya, mereka memutuskan
untuk menghentikan pengepungan, dan pulang ke wilayah masing-masing.
Diriwayat lainnya pula diceritakan,
Setelah berhasil menghasut Bani Quraizhah dan Kaum Quraisy, Nu’aim
bin Mas’ud al-Asyja’i berlari menuju Bani Ghatafan.
Nu’aim pun mengabarkan jika Bani Quraizhah memutuskan tidak
ikut berperang, dan menulis surat penyesalan karena menghianati perjanjian
damai dengan kaum Muslimin. Sementara itu, beliau juga mengatakan jika kaum
Quraisy tidak akan berperang terlebih dahulu, jika pasukan Bani Quraizhah tidak
menyerang terlebih dahulu. Hal yang sama, yang beliau ceritakan di tenda para
pemuka Quraisy.
Setelah Nu’aim menghilang dan menuju barisan pasukan
Muslimin, Abu Sufyan memerintahkan salah satu anggotanya untuk memastikan
kebenaran ungkapan Nu’aim. Kemudian, utusan itu kembali mengatakan jika Bani
Quraizhah tidak berperang, jika kaum Quraisy dan Bani Ghatafan tidak memberikan
70 tokoh mereka sebagai jaminan.
Tentu saja, hal ini membuat kaum Quraisy membenci Bani
Quraizhah, yang mengatakan hal yang mustahil.
Hal yang sama juga terjadi di tenda Bani Ghatafan, yang
telah kehilangan kepercayaan dengan kaum Quraisy dan Bani Quraizhah. Terlebih
lagi, tiada kejelasan yang datang dari Bani Nadir dan Bani Wail yang menjadi
sponsor perang mereka.
“Dan Allah mengusir orang-orang yang kafir itu, dengan
keadaan mereka penuh kejengkelan. Mereka (juga) tidak memperoleh keuntungan apa
pun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah
Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Ahzab: 25).
Wafatnya Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’i
Ketika Abu Sufyan mengetahui jika Nu’aim bin Mas’ud membawa
panji Islam (dalam peperangan yang lain), ia mengatakan,
“Sungguh buruk apa yang diperbuatnya terhadap kita, di hari
Khandaq. Dahulu, dia termasuk orang yang paling bermusuhan terhadap Muhammad.
Sekarang, dia membawa panji-nya (Muhammad) di depan (kaum)-nya, dan berlalu
untuk memerangi kita di bawah panji itu.”
Setelah peperangan Khandaq, Nu’aim bin Mas’ud menjadi orang
kepercayaan Rasulullah Saw, dan mendapatkan beberapa amanah untuk membela agama
Allah. Mulai dari berdakwah dikalangan kaumnya, Bani Ghathafan. Banyak kaum
Ghathafan yang akhirnya masuk Islam, setelah mendengar dakwah Nu’aim.
Menjelang penaklukan Makkah/ Fathul Makkah, Nu’aim
segera berbaiat kepada Rasulullah Saw, dan mengajukan pasukan Muslimin dari
Bani Ghathafan di bawah komandonya.
Nu’aim bin Mas’ud pun mengabdikan seluruh hidupnya untuk
Islam. Beliau juga memperjuangkan Islam dengan jiwa, raga, dan hartanya untuk
menyebarkan agama Islam. Perjuangan Nu’aim terus berlanjut, bahkan setelah
Rasulullah Saw wafat.
Nu’aim akhirnya wafat, di dalam perang Jamal di akhir masa
ke khalifahan Ustman bin Affan atau di awal masa kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib.
Demikianlah kisah Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’i, yang bisa
kita petik hikmahnya. Hal ini juga menjadi petunjuk pada kita, jika di dalam
masa perang, siasat atau berita palsu juga diperbolehkan, untuk mempertahankan
dan menegakkan agama Islam.
Wallahu’alam