Ushairim, Pemuda dari Bani Abdul Asyhal
Ushairim – Di dalam As-Sirah an-Nabawiyah, Ibnu Hisyam, 3/40
diceritakan;
Diriwayatkan dari Ibnu Sufyan maula bin Abi Ahmad, bahwa Abu
Hurairah bertanya kepada para sahabat,
“Ceritakan kepadaku, mengenai kisah seseorang yang
masuk surga, padahal ia belum pernah shalat sekali pun, sepanjang
hidupnya!”
Ternyata, para sahabat tidak ada yang mengetahui siapa
pemuda itu.
Lalu, seorang sahabat balik bertanya,
“Siapakah dia?”
Abu Hurairah menjawab,
“Ushairim (dari) Bani Abdul Asyhal, (atau) ‘Amr bin
Tsabit bin Waqsy.”
Dalam riwayat lain disebutkan, suatu hari Abu Hurairah
bertanya kepada para sahabat,
“Ceritakan kepadaku, megenai kisah seorang pemuda yang masuk
surga, padahal sepanjang hidupnya, ia belum pernah menjalankan sholat
sekalipun, (walau) sekali saja?”
Para sahabat menggelengkan kepala, karena memang belum
pernah mendengar cerita itu sebelumnya. Mereka saling berpandangan, dan
kemudian balik bertanya kepada Abu Hurairah,
“Siapakah gerangan pemuda ini?”
Abu Hurairahpun menjawab,” Ushairim (dari) Bani Abdul
Asyhal.”
Sementara itu, diriwayatkan jika Al-Hushain berkata,
“Aku bertanya kepada Mahmud, ‘bagaimana kehidupan
Ushairim sebelumnya?’
Mahmud menjawab, ‘Sebelumnya, dia enggan memeluk Islam
sebagaimana kaumnya. Namun kemudian, dia masuk Islam.’
Kisah Ushairim saat perang Uhud
Namanya adalah ‘Amr bin Tsabit, seorang pemuda dari bani
‘Abdil Asyhal. Bani ‘Abdil Asyhal sendiri mempunyai tokoh terkemuka, yang
mengabdikan dirinya kepada Rasulullah Saw. Tokoh tersebut adalah Sa’ad bin
Muadz, yang juga menjadi pemuka dari suku induk bani ‘Abdil Asyhal, yakni Bani
Aus.
‘Amr bin Tsabit juga sering dipanggil dengan ‘Amr bin Uqaisy
atau Ushairim. ‘Amr bin Tsabit pernah diajak memeluk Islam oleh Sa’ad bin Muadz.
Namun, dia menolak, karena dia merasa jika agama itu menyalahi nenek moyangnya.
Dahulu, Ushairim juga memiliki harta yang banyak, kebun
kurma yang luas, serta posisi yang tinggi di kaumnya.
Suatu ketika, datang lah waktu perang Uhud. ‘Amr bin Tsabit
bertanya, “di mana anak pamanku?”
Semua orang pun menjawab, “Di Uhud.”
Dia kembali bertanya kepada orang yang berbeda, “Di manakah si
fulan?”
“Di Uhud,” jawab salah seorang di kelompok itu.
“Lalu di manakah fulan (orang yang berbeda)?” Ushairim
kembali bertanya.
“Di Uhud,” jawab mereka.
Mendengar jawaban tersebut, Ushairim bergegas menggunakan
baju perangnya, menaiki kudanya, lalu menyusul pasukan Muslimin yang sedang
menuju bukit Uhud.
Saat pasukan Muslimin melihatnya, mereka pun berkata
“Menjauhlah engkau dari kami, wahai ‘Amr!”
“Aku telah beriman,” jawab Ushairim.
Maka, pasukan Muslimin pun mempersilahkannya untuk bergabung
dengan pasukan. Kemudian, Ushairim bertempur dengan gigih, hingga beberapa
bagian tubuhnya terluka parah.
Saat perang usai, di mana pasukan Muslimin telah mundur dan
menghalau pengejaran dari pasukan Quraisy, orang-orang Bani ‘Abdul Asyhal
mencari korban-korban peperangan dari kaum mereka. Tak mereka sangka, mereka
menemukan ‘Amr bin Tsabit.
Mereka menatap lekat-lekat wajah ‘Amr, memastikan jika
pemuda yang terluka itu adalah dirinya.
Mereka pun berkata, “Demi Allah ini adalah al-Ushairim!”
‘Amr pun dibawa menuju keluarganya, dengan keadaan terluka.
Sa’ad bin Mu’adz lalu mendatangi saudarinya, (yang menjadi istri Ushairim)
seraya berkata,
“Tanyakanlah kepada ‘Amr, apa yang menyebabkannya datang ke
medan perang? Apakah dia berperang demi kaumnya, atau karena Allah dan
Rasul-Nya?”
Lalu, ‘Amr pun menjawab, “Aku datang ke medan perang, karena
ingin masuk Islam. Aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku masuk Islam,
lalu mengambil pedangku. Aku maju bersama Rasulullah, dan aku berperang hingga
aku terkena serangan.”
Dalam riwayat lain disebutkan,
Ketika perang Uhud telah usai, Ushairim terlihat di medan
perang dengan penuh luka. Lalu, kaumnya (Bani ‘Abdul Asyhal) bertanya,
“Ini adalah Ushairim, apa yang menyebabkan ia datang dalam
peperangan ini? Bukankah dia tidak berkenan ikut serta dalam peperangan ini?”
Mereka mempertanyakan status Ushairim, mengapa berada dalam
pertempuran ini.
“Wahai ‘Amr, apa yang menyebabkan kamu berada di sini.
Apakah itu karena setia kepada kaummu, ataukah simpati kepada Islam?”
‘Amr pun menjawab, “Karena cintaku terhadap Islam, aku telah
beriman kepada Allah dan Rasulullah. Kemudian, aku mengangkat senjataku dan aku
berperang. Sehingga, keadaanku (menjadi) seperti ini.”
Diriwayat lainnya pula juga disebutkan,
Ketika teman-temannya dari Bani Asyhal, yang mencari para
sahabat yang terbunuh di Perang Uhud. Tiba-tiba, mereka dikagetkan dengan jasad
Ushairim yang terluka parah, tapi masih hidup.
Mereka bergumam dengan terkejut, “Ini Ushairim, kenapa ia
datang ke sini? Bukankah sewaktu kita berangkat berperang, ia masih kafir
(belum masuk Islam)?”
Lalu, mereka menanyakan langsung pada Ushairim.
“Wahai Ushairim, apakah engkau ikut mengangkat pedang karena
suku-mu, atau karena senang terhadap Islam?”
Ushairim menjawab, “Bahkan aku senang (masuk) Islam, aku
beriman pada Allah dan Rasul-Nya. Aku masuk Islam, kemudian aku bergabung
dengan Rasulullah untuk berperang. Kemudian, aku mengalami luka parah ini. Jika
aku meninggal, maka semua hartaku untuk Muhammad, (silahkan) dipergunakan
sekehendak hatinya.”
Kemudian, Ushairim meninggal.
Ketika hal ini dilaporkan kepada Rasulullah Saw, Beliau
berkata, “Sesungguhnya, dia termasuk penghuni surga.”
Di kesempatan lain Rasulullah Saw bersabda. ‘Amalnya
sedikit, tapi mendapat ganjaran (yang besar).”
Hikmah dari kisah Ushairim Bani Abdul Asyhal, ‘Amr bin
Tsabit bin Waqsy.
Perlu diketahui, Hidayah itu merupakan hak mutlak milik
Allah Swt, tiada seorang pun yang bisa menggunakannya. Sama seperti kisah
Ushairim, di mana beliau mendapat hidayah, ketika kesempatan jihad fii
sabilillah terbuka lebar.
Di sisi lain, seperti sabda Rasulullah Saw, jika amal dari
Ushairim adalah sedikit. Namun, ia berhasil mendapatkan ganjaran yang besar,
Surga. Hal ini terjadi, karena setiap orang yang masuk Islam, pastilah semua
dosa-dosanya di masa lalu dihapuskan.
Rasulullah Saw bersabda, “Jika seseorang masuk Islam, maka
ia seperti bayi yang baru lahir (suci tanpa dosa).”
Oleh sebab itu, sebagai seorang muslim, kita tak boleh
menghakimi seseorang yang non-muslim, yang tak kunjung masuk Islam. Padahal,
kita sudah berulang kali mendakwahinya.
Bahkan, hingga ia menghembuskan nafas terakhirnya, kita tak
bisa menghakiminya. Karena, siapa yang tahu jika seseorang non-muslim itu
melakukan taubatan nasuha di akhir hayatnya? Atau, bagaimana kalau ia
melakukan suatu kebaikan, setelah masuk Islam, saat kita tidak tahu. Kemudian,
ia meninggal?
Wallohu’alam