Salman Al-Farisi, Pemimpin yang Zuhud dan Rendah Hati
Penunjukkan Salman Al-Farisi sebagai Amir
Salman al-Farisi – Salah satu sahabat Rasulullah Saw yang namanya sangat
masyhur adalah Salman al-Farisi, Sahabat Persi.
Kisah petualangan pemuda asal negeri Persia yang mencari
hidayah ini sungguh melegenda. Bahkan, itu tertoreh dengan tinta emas, dalam berbagai
tarikh Islam. Terlebih lagi, ketika ide cemerlang beliau dalam perang Khandaq,
menjadikannya sebagai sosok yang sangat diperhitungkan.
Selanjutnya, Rasulullah Saw yang sangat mencintainya,
memberikan beliau kehormatan sebagai ahlul bait.
Diceritakan, Salman al-Farisi adalah anak kepala desa di
suatu wilayah Persia. Akalnya yang tengah mencari kebenaran, menjadikan beliau
berani meninggalkan dunia yang penuh gemerlap, untuk mencari esensi kehidupan
yang hakiki.
Setelah pengembaraan panjang, akhirnya beliau berjumpa
dengan Sang Utusan Tuhan, Baginda Nabi Muhammad Saw.
Di bawah didikan Rasulullah Saw, Salman al-Farisi menjadi
insan yang zuhud, wara, dan jauh dari nafsu duniawi.
Dikisahkan, setelah Baginda Rasulullah Saw wafat, Salman
al-Farisi tetap menjalani hidupnya sebagai pribadi yang relijius, walaupun
separuh hatinya kosong. Ya, rasa kerinduan beliau terhadap Rasulullah Saw,
masih membekas jelas di hatinya.
Tak seperti beberapa sahabat yang mulai meninggalkan Madinah
pasca Rasulullah Saw wafat, Salman al-Farisi tetap bertahan di sana, untuk
menjaga ‘arah’ dari sang Khalifah.
Pada era kekhalifahan Amirul Mukminin, Umar bin Al-Khattab,
hatinya menjadi resah.
Hal ini disebabkan Umar yang menunjuk beliau sebagai Amir wilayah
Madain. Salman hendak menolak penunjukan ini, karena beliau memang sudah tak
berminat lagi pada jabatan dan kekayaan. Beliau hanya ingin tetap dekat dengan
Kekasihnya, Rasulullah Saw, di Madinah ini.
Akan tetapi, beliau tak kuasa melakukannya, tatkala Umar bin
Al-Khattab berkata,
“Kalian telah membebaniku dengan amanat yang sebetulnya
tidak aku inginkan. Oleh karena itu, hendaknya kalian membantu meringankan
bebanku ini.”
Dengan terpaksa, Salman al-Farisi menerima jabatan itu.
Sebelum berangkat ke Madain, beliau menanyakan perihal ‘rumah
dinas’ yang akan beliau tempati,
“Rumah seperti apa yang kalian siapkan untukku?”
Orang yang bertugas untuk membangun rumah itu sudah mengerti
karakter Salman al-Farisi yang bersahaja. Sehingga, dia menjawab dengan
senyuman.
“Anda tak usah khawatir. Rumah yang kami siapkan, hanya
cukup untuk berteduh saja. Apabila Anda berdiri dan mengangkat tangan, maka Anda
akan menyentuh langit-langit (rumah)nya. Apabila Anda berbaring, maka kepala
dan kaki anda akan menyentuh dinding-dinding (rumah)nya.”
Mendengar itu, hati Salman al-Farisi pun menjadi tenang, dan
yakin atas kepergiannya.
Kehidupan Salman Al-Farisi ketika menjadi Amir
Menjadi Amir di Madain, ternyata tak membuat Salman
al-Farisi bergeser dari kehidupan wira’i-nya. Beliau tetap bersahaja,
meski mendapatkan kedudukan tinggi tersebut.Bahkan, gaji sebagai amir yang sebesar
4.000 dirham, selalu habis disedekahkan kepada fuqara masakin.
Sementara untuk menafkahi keluarganya, beliau membuat
keranjang dari daun kurma. Lalu, menjualnya di pasar. Jadi bisa dipastikan, kalau
beliau dan keluarganya makan dari hasil jerih payah beliau sendiri.
Di dalam kitab Hadaiqul Wardiyah fi Aljait Thariqah
Naqsabandiyah, diceritakan;
Pernah suatu ketika, Salman al-Farisi berjalan bersama
seorang tamunya di jalanan kota Madain. Tiba-tiba, beliau melihat seekor kijang
yang memakan rumput, dan beberapa ekor burung yang terbang di udara.
Salman al-Farisi yang ingin menjamu tamunya tapi tidak punya
apa-apa, berseru,
“Wahai kijang dan para burung, datanglah kepadaku, karena
aku ingin menjamu tamu-tamuku ini!”
Kijang dan para burung itu pun segera menghampiri beliau.
Para hewan itu menyerahkan diri untuk disembelih, dan
disuguhkan kepada para tamu Salman.
Melihat peristiwa yang menakjubkan itu, para tamu Salman
al-Farisi berkata, “Subhanallah.”
“Mengapa kalian heran pada peristiwa ini? Pernahkah kalian melihat
orang yang taat kepada Allah melanggar perintah-Nya oleh sesuatu?” kata Salman
zal-Farisi.
Kisah beremunya dua jiwa
Abu Nuaim pernah menceritakan, jika Harits bin Umair pernah
berkata,
Sewaktu aku singgah di kota Madain, aku menjumpai seorang
lelaki yang berpakaian kumal, sedang membawa kulit berwarna merah. Lelaki itu
menoleh kepadaku, dan memerintahkanku untuk berhenti. Aku pun bertanya kepada
orang yang berada di sampingku,
‘Siapa gerangan lelaki ini?’
‘Lelaki itu adalah Salman al-Farisi,’ jawab orang di
sampingku.
Kemudian, lelaki itu masuk ke dalam rumahnya, dan memakai
baju berwarna putih. Setelah itu, dia menjabat tanganku dan berkata kepadaku,
‘Wahai Abu Abdillah, sebetulnya aku belum pernah mengenalmu,
dan belum pernah melihatmu. Namun, sesungguhnya jiwaku telah mengenal jiwamu.
Bukankah kamu ini adalah Harits bin Umair?’
‘Benar, aku adalah Harits bin Umair,’ jawabku.
Lalu Salman al-Farisi berkata kepadaku,
‘Sesungguhnya, jiwa itu bagaikan tentara yang berkelompok.
Apabila mereka telah saling mengenal, maka mereka akan bersatu. Namun apabila
tidak saling mengenal, maka mereka akan bertentangan.’
Kisah si pemikul barang
Suatu ketika, ada seorang dari negeri Syam melintasi kota
Madain, dengan membawa sepikul buah kurma dan buah tin. Dia terlihat kewalahan
saat memikul beban yang begitu banyak. Ketika melihat seorang lelaki yang
miskin dan kumuh, dia berkata,
“Tolong bawakan barang barangku ini ke tempatku, nanti akan aku
beri upah.”
Tanpa banyak bicara, lelaki miskin itu membantu membawakan
barang-barangnya. Di tengah jalan mereka berpapasan dengan sekelompok Warga
Madain.
“Assalamualaikum,” lelaki miskin itu memberi salam.
“Walaikumsalam, yaa Amir,” jawab kelompok itu.
Mendengar jawaban warga Madain tadi, lelaki asal Syam itu
tersadar jika lelaki miskin yang ia suruh memikul barangnya adalah Amir Madain,
Salman al-Farisi. Segera, dia memohon maaf sembari meminta untuk memikul barang
bawaannya sendiri. Akan tetapi, Salman menolak.
“Tidak perlu, biar aku antar (dirimu) sampai ke tempat
tujuanmu, seperti yang telah aku niatkan.”
Sumber: Majalah Cahaya Nabawiy. Edisi no. 167
Di dalam sebuah riwayat juga dijelaskan, Abu Nu’aim bercerita dari Athiyah bin Amir, lalu dia berkata:
“Aku pernah melihat Salman al-Farisi menolak makanan yang disuguhkan kepadanya. Kemudian, dia berkata;
‘Tidak, tidak. Karena aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda:
‘Sesungguhnya orang yg lebih sering kenyang di dunia, akan lebih lama laparnya di akhirat. Wahai Salman, dunia ini hanyalah penjara bagi orang Mukmin dan surga bagi orang kafir.’
(HR. Muslim)
Kisah-kisah Salman al-Farisi tentang cinta
Kisah Salman al-Farisi dengan gadis Ansor
Saat itu, Salman tengah dimabuk asmara dengan seorang gadis ansor yang begitu ia cinta. Karena ketidak fasihan beliau dalam berdialog dalam bahasa Arab, beliau memutuskan untuk meminta bantuan sahabatnya, Abu Darda.
Setelah sampai di sana, Abu Darda yang menjadi ‘makcomblang’ dari sahabatnya Salman al-Farisi, langsung mengutarakan tujuan kedatangan mereka berdua. Lalu tanpa diduga, ada jawaban dari sang gadis, yang membuat Salman berkaca-kaca.
Untuk lebih memperjelas tentang kisah Salman al-Farisi dengan gadis Ansor, silahkan lihat di sini.
Kisah Salman al-Farisi dengan Istrinya
Ketika itu, Salman menikah dengan seorang wanita yang berasal dari keluarga kaya. Lalu, beliau berkunjung kepada sahabat-sahabatnya, guna meminta keridhoan tentang jenjang baru yang telah ia lewati.
Hingga malam pun tiba, kemudian Salman pulang dengan pintu yang tertutup. Beliau mengetuknya, hingga mengucapkan kata-kata bernada tinggi, karena tak juga dibukakan pintunya. Lalu, jawaban Istri beliau sangat mengejutkan.
Untuk lebih mengetahui kisah Salman al-Farisi dengan istrinya, silahkan dilihat di sini.
Demikianlah kisah ke-wirai’-an, ke-zuhud-an,
dan rendahan hati dari sahabat Rasulullah Saw, Salman al-Farisi.
Kehidupan zuhud yang telah beliau jalani dari awal kehidupan
beliau di Madinah, tetap menjadi pedoman hidup beliau ketika menjadi Amir di
Madain.
Beliau sama sekali tidak pernah memanfaatkan jabatan itu
untuk meraup kekayaan, popularitas, dan kehormatan.
Menurut beliau, jabatan yang diamanahkan itu, harus dimanfaatkan
untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar, keadilan, dan syiar agama Islam.
Sungguh, hal inilah yang sudah sangat jarang ditemui, bagi
para pemimpin-pemimpin dari berbagai wilayah di bumi ini.
Wallohu’alam