Perang Khandaq
Perang Khandaq – Perang Khandaq juga dikenal sebagai pertempuran al-Ahzab. Perang
yang berlangsung pada bulan Syawal 5 H/627 M ini, adalah perang besar kedua
yang sangat pelik bagi umat Islam. Selain karena selisih jumlah pasukan yang
sangat besar, hingga sumber pangan yang telah menipis, akibat boikot dari kaum
Yahudi, bani Quraizhah yang menghianati perjanjian.
Penyebab Perang Khandaq
Awal mula penyebab peperangan ini adalah banyak sekali
penjarahan yang dilakukan kaum Muslim terhadap rombongan kabilah Makkah yang
menuju Yaman atau Syam. Yang mana, hal ini membuat banyak kerugian bagi kabilah-kabilah
dagang Makkah, yang notabennya telah menjadi musuh alami umat Islam.
Hal ini ditambah pula dengan tindakan Nabi Muhammad Saw yang
memindahkan dua suku terbesar Yahudi (Bani Nadir dan Bani Wail) di Madinah,
menuju Khaibar yang terletak di luar kota Madinah. Tentu saja hal ini membuat
kecewa para pembesar Yahudi tersebut. Hingga keduanya membuat persekutuan bersama
kabilah-kabilah lain untuk menghancurkan Islam, dengan mengepung Madinah.
Al-Qur’an mengabadikan peristiwa ini dalam surah al-Ahzab
(artinya, ‘sekutu’).
Peristiwa sebelum pecahnya Perang Khandaq
Pada awal tahun 627 Masehi itu, orang-orang Yahudi dari Bani
Nadir bertemu dengan para pemuka Quraisy di Makkah.
Huyayy bin Akhtab, bersama dengan para pemimpin Yahudi
lainnya dari Khaibar, melakukan perjalanan untuk sumpah setia dengan Abu Sufyan
di Makkah. Karena mereka tahu, jika Abu Sufyan telah menderita kerugian yang
sangat besar, pasca penyergapan kaum Muslim terhadap rombongan kabilah
dagangnya.
Meskipun sebenarnya, luka itu sedikit terobati karena
kemenangan di Perang Uhud, hal itu tetap saja membuat Abu Sufyan tak bisa makan
dengan tenang, sebelum melenyapkan duri di kakinya itu.
Menyambut tawaran dari Huyayy bin Akhtab, Abu Sufyan
memimpin pasukan gabungan dari kabilah-kabilah Makkah yang terdiri dari 4.000
prajurit, 300 penunggang kuda, dan 1.000-1.500 penunggang unta.
Tak berhenti disitu, untuk memastikan kemenangannya, Bani
Nadir mulai merayu para perantau dari wilayah Najd, kabilah Gathafan, dengan
menyerahkan hasil perkebunan kurma di Khaibar selama 1 tahun.
Bani Ghatafan yang menguasai Najd pun ikut serta dalam
persekutuan ini, dengan membayar setengah dari hasil panen mereka. Ditambah,
mereka juga mengirim 2.000 prajurit dan 300 penunggang kuda. Pasukan ini
dipimpin oleh Unaina bin Hasan Fazari.
Bani Asad juga setuju untuk bergabung dengan mereka yang
dipimpin oleh Thulaihah al-Asadi, (namun kami belum menemukan data berapa
jumlah pasukannya).
Dari Bani Sulaim, mereka mengirim 700 pria, karena tak semua
pemimpin suku tersebut memberikan bantuannya.
400 orang dari Bani Murrah yang dipimpin oleh Hars bin Auf
Murri, juga setuju untuk bergabung.
Lalu, Bani Shuja dengan 700 orang yang dipimpin oleh Sufyan
bin Abd Syams juga menanggapi seruan Bani Nadir.
Sementara itu, Bani Amir yang memiliki perjanjian dengan
Muhammad, menolak untuk bergabung dengan aliansi besar itu.
Secara total, kekuatan tentara Aliansi tersebut, diperkirakan
sekitar 10.000 tentara, dengan 600 kuda. Namun, hal ini tidak disepakati oleh
para Ulama dan Sejarawan, karena banyak suku-suku lain yang tak tercatat jelas,
apakah mereka mengirim pasukannya atau tidak, dan berapa jumlah pasukan yang
dikirim.
Kondisi di Madinah, sebelum perang Khandaq
Kabar ini pun tersebar sampai ke Madinah. Setelah mengetahui
jumlah kekuatan musuh yang begitu besar, muncul perasaan khawatir di kalangan
umat islam.
Rasulullah Saw yang mendengar jika akan ada pasukan besar
yang akan menyerbu Madinah, langsung mengumpulkan para sahabat untuk dimintai
saran, strategi, dan yang lainnya. Hal ini guna mengantisipasi dan menghadapi rombongan
besar musuh yang telah menyiapkan perbekalan perang di luar sana.
Semua orang sangat tertekan, mengingat jumlah pasukan musuh
yang berjumlah berkali-kali lipat dari pasukan Muslimin. Ditambah pula, kondisi
cuaca yang tengah berada di dalam musim dingin, yang membuat mereka merasa berat
untuk pergi berperang. Selain karena menipisnya perbekalan tak kala dimulainya
pengepungan, mereka juga kesulitan mengumpulkan bahan pangan.
Lalu, di sinilah muncul ide dari sahabat Salman al-Farisi
yang menyarankan agar pasukan Muslim menggali parit di sekitar Madinah demi menghalangi
pasukan kafir.
“Wahai Rasulullah, dahulu ketika kami masih di Parsi (Persia),
jika kami merasakan takut akan serbuan tentara berkuda musuh, maka kami akan
menggali sebuah parit di sekitar kami.”
Menurut Salman, di negeri asal kelahirannya itu, adalah suatu
kebiasaan untuk menggali parit, agar menghalangi pasukan musuh. Hal itu juga
bagian dari strategi perang.
Untuk mengetahui lebih dalam tentang siapa Salman al-Farisi, silahkan lihat di sini.
Rasulullah Saw dan anggota majelis pun menyetujui saran
Salman al-Farisi tersebut.
Mengingat kota Madinah yang begitu luas, setiap 10 orang diharuskan
menggali parit sepanjang 40 meter. Menurut Syauqi Abu Khalil di dalam bukunya
Atlas Hadits, umat Muslim berhasil menggali parit sepanjang 5,544 m (5,5 km
lebih) dengan lebar parit 4,62 m dan mempunyai kedalaman 3,234 m.
Penggalian parit tersebut membutuhkan waktu selama 10 hari. Sementara
dalam penjelasan di dalam Ensiklopedia Islam, penggalian parit tersebut memakan
waktu hanya 6 hari.
Dalam prosesnya, tercatat jika Nabi Saw sendiri ikut
menggali bersama para sahabat.
Untuk cerita lebih lengkapnya, tentang kisah Rasulullah Saw
yang mengharukan saat menggali parit di perang Khandaq, silahkan lihat di sini.
Atau, jika kamu ingin mengetahui tentang mu’jizat Rasulullah Saw selama masa perang Khandaq, silahkan lihat di sini.
Peristiwa saat terjadinya Perang Khandaq
Pada akhir Maret 627 Masehi, pasukan aliansi yang dipimpin
oleh Abu Sufyan berbaris menuju Madinah. Tercatat, jika jumlah pasukan aliansi
kabilah Arab dan kaum Yahudi, berjumlah 10.000 orang.
Saat pasukan besar itu sampai di pintu masuk kota Madinah,
yang diapit dua bukit, mereka terkejut dan binggung. Di depan mereka, ada parit
panjang dan lebar, yang menghalangi mereka merangsek masuk ke Madinah. Ditambah,
di seberang parit sana (di dalam kota Madinah) ada pasukan Muslim yang sudah
bersiap dengan panah di tangan mereka.
Akhirnya, mereka tidak dapat melewati parit itu. ketika
berhadap-hadapan, mereka juga tidak melakukan peperangan seperti biasanya,
seperti di tempat terbuka. Karena, setiap kali mereka mencoba menyeberangi
parit, mereka selalu dipanah oleh tentara muslim.
Bahkan, jika mereka berhasil menerobos parit besar itu,
mereka sudah kelelahan dan menjadi santapan tentara muslim.
Lantaran itu, pasukan sekutu ini mendirikan tenda di seberang
parit, dan hanya menggunakan senjata panah untuk menjadi serangan jarak jauh. Hanya
sesekali, mereka melancarkan serangan darat, menggunakan pasukan berkuda.
Dengan model peperangan seperti ini, hanya beberapa orang
yang mati. Tercatat, hanya enam orang yang mati syahid, sedangkan dari aliansi
Quraisy jatuh korban sebanyak 12 orang.
Dalam perang Khandaq ini juga sempat terjadi duel satu lawan
satu, yaitu antara Ali bin Abi Thalib dengan Amr bin Abdu Wudd. Duel ini dimenangkan
oleh Ali.
Penghinatan Bani Quraizhah
Di tenggara kota Madinah, ada suku Yahudi yang lebih beruntung
dari Bani Nadir dan Bani Wail yang direlokasi ke Khaibar. Mereka adalah Bani
Quraizhah yang memiliki banyak perkebunan kurma dan benteng kecil yang menjadi tempat
perlindungan yang aman.
Saat terjadinya Perang Khandaq, Bani Quraizhah yang sebelumnya
telah berjanji akan ikut melindungi Madinah dari pasukan aliansi dan memberikan
pasokan pangan, menghianati perjanjian yang telah disepakati dengan Rasulullah
Saw tersebut.
Ternyata, ada utusan dari Bani Nadir yang telah mendatangi
pemimpin Bani Quraizhah dan membujuk mereka agar tak melawan, karena ada 10.000
pasukan sedang menuju Madinah, dan akan menghancurkan kaum Muslim.
Tentu saja, Bani Quraizhah yang telah menerima banyak
kerugian dengan kemunculan supremasi baru di Madinah, membuat mereka setuju.
Alhasil, selain melanggar perjanjian, mereka juga
mempersiapkan pasukannya di dalam benteng. Hal ini juga mengakibatkan
konsentrasi pasukan muslim terpecah. Karena mereka terkepung dari dua sisi.
Untuk mengetahui lebih detail tentang penghianatan dan
perang Bani Quraizhah, silahkan lihat di sini.
Akhir Perang Khandaq
Melalui gunung Sila (Sal’a), Rasulullah Saw mengawal
pergerakan tentara Muslim dan juga mengawasi pergerakan pasukan musuh. Rasulullah
Saw juga bermunajat di gunung Sila selama 3 hari, dan turunlah surat al-Ahzab.
Pasukan aliansi yang awalnya merasa di atas angin, karena
mereka mendominasi di segala sisi. Mulai dari jumlah pasukan, stok pangan, dan
kondisi mental pasukan. Mereka merasa tak perlu terburu-buru untuk
menghancurkan pasukan Muslim. Walaupun pada awalnya, mereka merasa bingung dan
kaget, dengan strategi parit itu. Karena, taktik seperti itu tak lazim bagi
bangsa Arab.
Setelah 27 hari pengepungan Madinah (ada yang berpendapat 30
hari), di mana kondisi pasukan Muslim semakin menghawatirkan, karena pasokan
pangan yang semakin menipis. Akhirnya, munajad Nabi Saw di gunung Sila
terjawab.
Badai pasir yang entah datang dari mana, mulai menghancurkan
tenda-tenda pasukan aliansi.
Di malam harinya, Nua’im bin Mas’ud al-Asyja’i yang telah
memeluk Islam tanpa sepengetahuan pasukan aliansi, menuju camp pasukan Muslim.
Di sana, beliau berba’iat kepada Rasulullah Saw dan mengusulkan
untuk memecah kesolidan pasukan aliansi, dengan menyebarkan berita palsu.
Tentu saja, hal itu disambut manis oleh Nabi Saw.
Di malam itu juga, Nua’im langsung menuju ke kabilah-kabilah
Arab yang menderita kerugian, karena tak juga mendapatkan penghasilan, karena
hanya berdiam diri di sini.
Nua’im mengatakan, jika hal ini sengaja dilakukan oleh Bani
Nadir, untuk mengurangi dominasi mereka terhadap jalur perdagangan yang sepi,
karena ditinggal untuk pengepungan ini. Sontak saja, hal itu membuat marah para
kabilah-kabilah dagang Arab, yang telah menderita banyak kerugian.
Setelah terjadi pertengkaran pendapat di kubu kabilah Arab,
Nua’im segera menuju ke Bani Nadir.
Di sana, beliau mengatakan, jika para kabilah Arab dari awal
tak mempercayai Bani Nadir. Hal itu dibuktikan dengan serangan-serangan yang
dilakukan kabilah-kabilah Arab. Di mana, serangan-serangan itu hanya terdiri
dari kelompok-kelompok kecil yang tak pernah menembus parit di depan kota Madinah
itu.
Tentu saja kabilah Arab berfikir ingin menguras sumber daya
Bani Nadir, agar mereka tak bisa mendominasi perdagangan, yang notabennya dikuasi
Bani Nadir, di hari esok.
Selanjutnya, Nua’im juga menuju ke suku-suku lain, dengan
cerita yang berbeda, agar mereka semua dapat terpecah belah.
Pada hari esoknya, mulailah terjadi perpecahan di dalam
pasukan aliansi.
Beberapa kabilah dan suku mulai pergi meninggalkan camp yang
telah hancur diakibatkan badai pasir kemarin.
Di hari berikutnya, hanya tersisa pasukan yang dipimpin Abu
Sufyan, yang merasa enggan untuk kembali. Hal ini dikarenakan egonya yang
tinggi, yang masih tak bisa menerima, jika pasukan besar yang dipimpinnya,
gagal menakhlukkan kota Madinah.
Untuk mengetahui kisah dan perjuangan Nua’im bin Mas’ud al-Asyja’i, silahkan lihat di sini.
Setelah peperangan itu, Rasulullah dan para sahabat
berangkat menuju kediaman bani Quraizah untuk mengadili mereka. Tentu saja, terjadi
pertempuran di sana, hal ini tertacat dalam sejarah sebagai perang bani Quraizah.
Untuk melihat lebih detail tentang perang bani Quraizah,
silahkan lihat di sini.
Pada akhirnya, kemenangan akhirnya berpihak pada pasukan
Muslim. Walaupun, kondisi awal yang sangat tidak menguntungkan. Mulai dari
jumlah pasukan yang sangat jauh selisihnya, jumlah pangan yang terpotong akibat
penghianatan, dan hawa dingin yang begitu menusuk tulang.
Semua itu tak terlepas dari kehendak Allah Swt yang mengatur
segalanya, atas Kuasa dan Kekuatan-Nya.
Wallohu’alam