Tidak Bermadzhab, Langsung Kembali Ke Al-Qur’an Dan Hadits?


Tidak Bermadzhab, Langsung kembali ke Al-Qur’an dan
Hadits?

Belakangan ini banyak
sekali muncul pecandu-pecandu agama. Tak bisa dipungkiri lagi, ngaji online
memang sedang ngetrand-ngetrandnya saat ini, seiring berkembangnya teknologi
informasi yang sudah memasuki era Revolusi 4.0. Melihat kasuistik yang ada,
sering kita mendengar slogan “kembali kepada al-Qur’an dan Hadits”. Apasih
maksud dari slogan tersebut? Oke deh kita langsung bahas dari hulu ke hilir…
Mazhab (مَذْهَبٌ) dalam
bahasa arab berasal dari kata  ذَهَبَ – يَذْهَبُ – ذِهَابًاsecara bahasa artinya
adalah tempat untuk pergi. مَذْهَبٌ adalah isim
zaman (waktu) dan isim makan (tempat) dari akar kata
tersebut.
Sedangkan Madzhab secara istilah yaitu sebuah
metodologi dalam istinbath al-hukm (pengambilan kesimpulan hukum) dari al-Qur’an
dan as-Sunnah. Mazhab yang dimaksud di sini adalah mazhab fiqih.

Nashiruddin al-Albani dalam kitab سلسلة الأحاديث الضعيفة والموضوعة dan orang yang sefaham dengannya
berpendapat bahwa orang-orang yang bertaqlid (mengikuti pendapat salah
seseorang tanpa tahu sumber hukumnya) dalam agama adalah haram. Tidak hanya
itu, menurut mereka pendapat madzhab empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah,
Hanbaliyah) dalam menentukan dan membuat kesimpulan hukum sama dengan membuat
syariat baru dan itu hal yang dilarang dalam agama. 
Lebih ekstrim dari itu,
sebagian dari mereka menganggap bahwa madzhab empat adalah bid’ah, sesat dan
merupakan tembok penghalang bagi umat untuk memahami al-Qur’an dan as-Sunnah.
Namun aneh bin ajaib, lucu bin koplak, ulama
kebanggaan mereka ternyata juga bertaklid. Ulama-ulama kebanggaan mereka
diantaranya : Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Bulqini, Ibnu Khuzaimah,
Ibnu Shalah, Ibnu Qayyim, adz-Dzahabi,  Ibnu
Hajar al-Asqalani, Ibnu Rusyd, an-Nawawi, al-Bukhari dan lain-lain. Padahal
jika mereka konsisten dengan pendapat mereka tanpa pandang bulu, ulama-ulama
yang mereka ikuti diatas merupakan orang yang salah manhajnya dan masuk
kategori sesat karena mereka menghalalkan taqlid.

Berdasarkan pemaparan stimulus di atas, pantas
dan sebandingkah seorang al-Albani bila disejajarkan pemikirannya dengan
al-Bukari, Ibnu Hajar dkk? Apakah menurut mereka ulama-ulama diatas yang
bertaqlid menjadi ahlinnar sebab bertaqlid? Apakah ulama-ulama tadi tidak faham
dengan al-Qur’an dan as-Sunnah?. Dengan hati yang bersih dan fikiran yang
jernih, maka pertanyaan tersebut sangat mudah untuk dijawab.

Menurut orang-orang yang anti taqlid bahwa
orang Islam harus berijtihad dan mengambil hukum langsung dari al-Qur’an dan
Sunnah tanpa bertaqlid sama sekali kepada siapapun. Tapi yang sangat aneh,
mereka mengabil hadits dari Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Dalam tarbiyah
dan dakwahnya mereka juga menyampaikan hadits ini shahih, hadits itu shahih karena
haditsnya sudah diteliti oleh Shahikhani, yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Apakah hal tersebut tidak dinamakan bertaqlid kepada Imam Bukhari dan Imam
Muslim dalam hal hadits? Bukankah Imam Bukhari bermadzhab Syafi’i? Lalu ketika
mereka fanatik dalam mengikuti pemikiran Ibnu Taimiyah, al-Utsaimin, Bin Baaz, Albani,dkk
itu dinamakan apa?

Jika setiap muslim wajib untuk menggali hukum
dan berijtihad sendiri, mungkin mereka lupa atau bahkan tidak pernah berfikir
bahwa hal tersebut sama saja menghancurkan agama dari dalam. Secara ‘aqliyah,
bisa diketahui bahwa jika orang yang awam dan pemahaman tentang agamanya lemah kemudian
harus berijtihad sendiri maka agama akan kacau dan kesimpulan hukum yang
dihasilkan akan ngawur karena tidak memenuhi kriteria mujtahid.

Akhir-akhir ini banyak sekali fenomena lucu dan
aneh yang jika kita selalu up to date dan mengikuti perkembangannya maka
tidak ada habisnya, apalagi di Indonesia. Banyak orang yang membaca terjemah
al-Qur’an dan terjemah Hadits, dengan merasa sudah sangat faham tiba-tiba
mereka berani menentang hasil istinbath dan ijtihad ulama mujtahid dan ulama
salaf. Padahal terjemah yang mereka baca juga merupakan hasil ijtihad dari
ulama-ulama mujtahid. Bukankan hal tersebut merupakan guyonan yang tidak lucu?

Menurut Jumhur Ulama, seseorang dapat menjadi
mujtahid (menggali hukum secara langsung) harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 
-Ahli dalam hal mufradat (satu persatu) lafadzh dalam bahasa Arab
-Paham secara
datail arti dari setiap huruf jer
-Mampu membedakan kata ifrad (satu) dari yang
musytarak (sekutuan)
-Mengetahui maksud dan ma’na syarat masyrut, huruf
istifham (kata tanya), 
-Ahli dalam hal isi dan kandungan al-Qur’an, muhkam dan
mutasyabih, asbabunnuzul (latar belakang turunnya ayat), naskh mansukh (lafadz
atau hukum al-Qur’an yang telah diperbarui), ‘amm dan khass, 
-Paham tentang
mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah, muthlaqah serta muqayyadah. 
-Ahli di bidang
hadits, baik dalam hal dirayat (kritik perawi hadits atau mushthalah hadits) dan
lain sebagainya. 
Jika syarat-syarat yang telah disebutkan tidak terpenuhi, maka
tidak boleh berijtihad dan wajib bertaqlid atau ikut kepada mujtahid.
Jumhur ulama tidak pernah berpendapat bahwasanya
pintu gerbang ijtihad telah ditutup dan tidak akan ada mujtahid lagi setelah
mereka, karena kesempatan menjadi mujtahid akan tetap terbuka sampai hari kiamat.
Namun faktanya, siapakah sekarang ini ulama yang mampu mencapai derajat mujtahid
seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hanbali dan lain-lainnya.
Adakah sarjana, magister, doktor di zaman ini yang punya kapasitas yang bisa
disejajarkan dengan meraka? 
Wallahul muwaffiq.

1 thought on “Tidak Bermadzhab, Langsung Kembali Ke Al-Qur’an Dan Hadits?”

Leave a Comment